SUKU BURU; MALUKU
Suku
Buru merupakan etnis yang mendiami pulau Buru dan beberapa Kepulauan Maluku
lainnya. Pulau Buru ini terletak di Kepulauan Maluku dan merupakan salah satu
yang terbesar disana. Secara umum pulau Buru ini merupakan perbukitan dan
pegunungan. Dahulu Pulau dikenal sebagai pulau pengasingan bagi para tahanan
politik pada zaman pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto. Dulu di sana, ribuan orang dibuang dan disiksa, karena dituduh oleh
pemerintah Orde Baru sebagai antek partai komunis yang paling dimusuhi oleh
rezim tersebut selama kekuasaannya.[1]
Penduduk asli Pulau Buru
pada mulanya berdiam di daerah pedalaman, yang meliputi pegunungan, perbukitan
dan lembah. Namun secara berangsur sebagian diantaranya mulai bermukim di
pesisir. Terdapat sebutan lain penduduk pesisir untuk penduduk asli Buru yang
masih tinggal di pegunungan, yaitu masyarakat alifuru.
Suku
Buru berkomunikasi dengan menggunakan bahasa bahasa Buru. Selain itu juga
mereka juga menggunakan bahasa Melayu Ambon dengan logat khas Buru[2].
Masyarakat Buru menyebut dirinya sebagai Gebfuka
(orang dunia) atau Gebemliar (orang tanah). Ada tiga alasan mengapa mereka
menyebut dirinya dengan sebutan tersebut, yaitu:
1. Suku Buru adalah suku asli pribumi yang mendiami
Pulau Buru di Kepulauan Maluku.
2. Kehidupan mereka
sangat dekat dengan tanah yang artinya bahwa mata pencaharian penduduk suku
Buru adalah bertani dan berladang.
3.
Suku Buru adalah pemburu yang ulung. Mereka berburu dengan menggunakan senjata
tradisional yang berupa parang lurus dan tombak pendek.[1]
Masyarakat adat Pulau Buru menganggap bahwa seluruh
lahan yang ada di Pulau Buru adalah milik hak masyarakat adat setempat secara
komunal. Kepemilikan yang ada didasarkan pada kesamaan soa atau marga dan
kesepahaman masyarakat adat tentang batas hak ulayat masing masing soa atau
marga.
Secara
umum soa pada masyarakat adat Buru terbagi atas dua, yaitu noropito dan noropa
(noro = marga, pito = tujuh, pa = empat). Noropito merupakan soa yang
asli di Pulau Buru. Sedangkan noropa merupakan soa pendatang yang terdiri dari
empat soa. Soa pendatang ini berasal dari Ternate, Madura, Kolamsusu (Buton)
dan Tasijawa (Jawa). Sementara Noropito terdiri dari tujuh soa. Menurut
kepercayaan masyarakat setempat, sejarah awal munculnya tujuh soa diawali oleh
lahirnya tujuh anak dari sepasang suami istri yang di kemudian hari menjadi
cikal bakal munculnya tujuh soa asli di Pulau Buru ini. Ketujuh soa asli Pulau
Buru yaitu: Hain, Waitemu, Waeula, Kakhana, Gewagi, Watnerang dan Waehiri.
Ketujuh soa asli Buru ini dipimpin oleh Taksodin yang berasal dari Soa Waehiri.
Sedangkan empat Soa pendatang (Noropa) dipimpin oleh Hinolong dari Soa Baman
dan bertempat di Wayapo.
Pada
awalnya kedua kelompok soa tersebut, baik asli maupun pendatang merupakan
masyarakat yang menempati daerah pegunungan (alifuru). Namun kemudian ketujuh
soa asli mengutus salah satu soa, yaitu Waehir (Wael) menuju pesisir untuk
menjadi raja. Tujuan dari dipilihnya soa Waehiri sebagai raja ini adalah agar
yang bersangkutan dapat menempuh pendidikan dan memimpin masyarakat adat.
Dalam struktur internal soa/marga, terdapat beberapa
jabatan sebagai berikut:[2]
·
Kepala soa, yang mengepalai suatu soa,
dipilih atas kesepakatan tokoh tokoh soa. Kepala Soa berfungsi untuk
mengatur segala persoalan yang berkaitan dengan warga dalam suatu soa. Baik
persoalan kemasyarakatan maupun persoalan adat.
·
Porisi adalah salah satu
jabatan dalam struktur soa yang bertugas menyelesaikan masalah yang timbul
dalam soa dan tidak dapat diselesaikan internal oleh masing-masing kepala soa
yang bermasalah.
·
Kawasan adalah salah satu
jabatan yang dapat disejajarkan dengan kepala dusun. Dalam satu soa, biasanya
terdapat 5 mata ruma. Kawasan biasanya yang mengetahui segala sesuatu urusan
dalam soa yang bersangkutan. Selain itu tugas kawasan yang lain adalah membantu
kepala soa.
·
Marinjo adalah salah satu
jabatan dengan tugas menyebarkan undangan jika akan ada satu kegiatan, atau
menyebarkan informasi kepada masyarakat adat.
·
Gebopuji bertugas sebagai imam
dengan tugas menjaga tempat-tempat yang sakral.
Setiap soa terdiri dari beberapa mata rumah. Masing
masing mata rumah sudah memiliki pembagian tugas sendiri-sendiri sesuai
pembagian sejak generasi awal dalam suatu marga sebagaimana tertuang pada
gambar di atas. Secara turun temurun anggota mata rumah akan mewarisi
tugas dan tanggung jawab yang sama dengan pendahulunya.
C.
Mata Pencaharian Suku Buru[3]
Sumber : Wikipedia.org |
Mata pencaharian pokok orang Buru adalah
mengumpulkan dan meramu sagu hutan, yang menjadi makanan pokok mereka. Mereka
juga mulai membuka lahan perladangan yang ditanami ubi-ubian, tebu, jagung, dan
padi. Suku asli Buru sangat dekat dengan tanah dalam artian bahwa mata
pencarian penduduk suku buru asli adalah bertani dan berladang, mereka juga
termasuk pemburu ulung dengan menggunakan senjata tradisional berupa parang
lurus dan tombak pendek. Suku bangsa buru asli adalah suku bangsa yang tipikal
dari suku bangsa yang sangat mengendalikan pengolahan lahan bumi sebagai sumber
kehidupannya.
Garis
keturunan ditarik menurut garis laki-laki (patrilineal). Kesatuan kekerabatan
yang terpenting adalah fena, yakni gabungan kelompok kekerabatan patrilineal
yang disebut etnate atau soa. Dalam sistem perkawinan, orang Buru menggunakan
adat eksogami fena, artinya seseorang harus kawin dengan orang dari fena yang
berlainan.
Seorang calon
suami harus memberikan sejumlah mas kawin kepada pihak wanita. Adat menetap
sesudah nikahnya menentukan bahwa pasangan pengantin baru menetap di kediaman
kerabat suami (patrilokal).
Setiap fena dikepalai oleh seorang
matlea (gebha), dengan wakilnya yang disebut perwies. Pemimpin fena ini ditentukan
berdasarkan pemilihan di kalangan anggota fena menurut garis laki-laki.
Beberapa fena membentuk sebuah federasi yang lebih besar, disebut feulolin
(fugmolin). Kepala feulolin, yaitu kepala jabu, dan wakilnya, hermolon,
merupakan wakil terpilih fena-fena yang ada.[4]
Suku
Buru sebagian besar masih mempertahankan agama kepercayaan tradisional, yaitu
masih memuja benda-benda dan roh-roh (animisme dan dinamisme) dan penganutnya
tersebar di seluruh Pulau Buru.[5]
Selain itu juga terdapat beberapa penganut kepercayaan lain. Di bagian selatan
Pulau Buru, sebagian besar penduduknya menganut agama Islam sedangkan di bagian
utara, penduduknya banyak menganut agama Kristen Protestan. Di bagian tengah
Pulau Buru inilah yang masih menganut sistem kepercayaan animism dan dinamisme.
Mereka melakukan pemujaan terhadap dewa tertingginya, Opo Hebe Snulat dan
utusan-Nya, Nabiat.
Selain itu, mereka juga percaya akan adanya roh abadi yang disebut esmangin, roh alam yang disebut sanane, roh orang mati yang disebut nituro, dan sebagainya. Kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan gaib ini diwujudkan dengan pemberian sesaji dan upacara pada waktu-waktu tertentu.
[1] http://dunia-kesenian.blogspot.co.id/2015/05/sejarah-dan-kebudayaan-suku-buru-maluku.html, diakses pada
20 Mei 2016.
[2] https://sitinurjani61.wordpress.com/2014/06/18/budaya-makanan-dan-ciri-khas-dari-pulau-buru/, diakses pada
20 Mei 2016.
[3] http://dunia-kesenian.blogspot.co.id/2015/05/sejarah-dan-kebudayaan-suku-buru-maluku.html, diakses pada
20 Mei 2016.
[4] http://retnanda.blogspot.co.id/2012/08/regenschaft-leisela-di-pulau-buru-pulau.html, diakses pada
20 Mei 2016.
[7] http://dunia-kesenian.blogspot.co.id/2015/05/sejarah-dan-kebudayaan-suku-buru-maluku.html, diakses pada
20 Mei 2016.