AGAMA LOKAL ORANG TORAJA
AGAMA-AGAMA LOKAL
Makalah ini disusun sebagai Tugas Mata Kuliah Agama-Agama Lokal
Semester 4
Dosen; Siti Nadroh, MA
Disusun
Oleh:
Renaldo Caniago 11140321000028
Elva Nuzuliah 11140321000044
Endik Sudikna 11140321000029
JURUSAN
PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS
USHULUDDIN
UIN
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016
DAFTAR
ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Paham keagamaan agama Aluk To Dolo di Tana Toraja terbilang tidak begitu
berkembang. Namun tradisi niliai Aluk To Dolo tetap dilestarikan oleh
masyarakat Tana Toraja sebagai identitas dan ciri khas mereka. Tradisi budaya
dirasa lekat dengan kehidupan keagamaan sehingga dapat dikatakan pada setiap
upacara adatnya berbalut dengan ritual kegamaan, seperti upacara Rambu Solo dan
Rambu Tuka. Upacara adat dan keagamaan ini menarik minat wisatawan domestik dan
mancanegara untuk berkunjung ke Tana Toraja.
Agama pada dirinya sendiri hanyalah sebuah ajakan. Sebagai ajakan, ia hanya
menawarkan pilihan antara mempercayai atau mengingkari. Ia sama sekali tidak
memuat paksaan, kecuali sebuah konsekuensi logis bagi pemeluknya. Sebaliknya,
terhadap mereka yang tidak mempercayainya, agama idak memiliki hak tuntutan
kepatuhan apapun, apalagi pemaksaan. Namun, begitu agama diformalkan, baik
dalam bentuk pelembagaan doktrin maupun lainnya, ia mudah terjebak sebagai
instrumentalisasi kepentingan, baik kepentingan yang mengatasnamakan nama tuhan
sebagai suara kekuasaaan, maupun berbagai kepentingan lain yang memanfaatkan
agama sebagai legitimasi.
Dalam perspektif Islam yang mendasarkan definisi agama atas pengertian
agama semitis yang memuat unsur adanya kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, memiliki sistem hukum yang jelas bagi para penganutnya, memiliki kitab
suci, dan seorang nabi.
1. Bagaimana asal-usul dan perkembangan paham/agama Aluk
To Dolo?
2. Apa pokok-pokok ajaran Aluk To Dolo?
3. Bagaimana upacara keagamaan masyarakat Toraja?
4. Bagaimana interaksi kepercayaan orang Toraja dengan
agama-agama lain?
C. Tujuan
Masalah
Mempelajari agama lokal orang Toraja mempunyai beberapa tujuan diantaranya
:
1. Untuk mengetahui asal-usul dan perkembangan
paham/agama Aluk To Dolo.
2. Bisa menyebutkan pokok-pokok ajaran Aluk To
Dolo.
3. Untuk mengetahui upacara keagamaan masyarakat
orang Toraja dan interaksi kepercayaan orang Toraja dengan agama-agama lain.
4. Untuk memperdalam ilmu tentang kehidupan beragama
di Suku Toraja.
BAB II
PEMBAHASAN
Wilayah
etnis Toraja pada umumnya terletak di sekitar pegunungan Latimojong dan pegunungan
Quarles. Wilayahnya memilki tinggi rata-rata 150 hingga 2000 meter dari
permukaan air laut dengan beberapa sungai yang mengalirinya seperti, Sungai
Saddang, Sungai Karama, Sungai Rongkong, Sungai Massuppu dan Sungai Mamasa. 3
Di wilayah Tana Toraja terdapat dua pusat berupa kota kembar, yang pertama
Makele berfungsi untuk pusat Adminstrasi berada di selatan, kedua Rantapeo yang
lebih berfungsi sebagai pelayanan dan jasa berada di utara.[1]
Suku Toraja adalah suku yang menetap
dipegunungan bagian utara Sulawesi Selatan. Populasinya diperkirakan sekitar 1
juta jiwa, dengan sekitar 500.000 diantaranya masih tinggal di Kabupaten Tana
Toraja, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen,
sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai
Aluk To Dolo. Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti
“orang yang berdiam di negeri atas”. Pemerintahan kolonial Belanda menamai suku
ini Toraja pada tahun 1909. Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah
adat tongkonan dan ukiran kayunya.[2]
Toraja pasca kemerdekaan Republik Indonesia, didirikan pada tahun 1960, adalah
salah satu kabupaten yang berada di Sulawesi Selatan, dengan ibu kota Makale
dan merupakan salah satu daerah tujuan wisata yang sangat menarik dengan
alamnya yang indah, budayanya yang khas dan mempesona serta wilayahnya yang
berliku-liku dengan dikelilingi pegunungan. Ada 7 gunung di Tana Toraja,
seperti gunung Bebo’, Sado’ko’, Kandora, Buntu Batu, Messila, dan Sangbu,
sehingga Tanah Toraja terasa dingin dan sejuk. Kondisi yang menarik wisata
mancanegara, khusunya dari Prancis, Jerman, Belanda, Inggris, Negara Eropa lainnya
serta wisatawan nusantara.[3]
Di kalangan masyarakat Toraja pada waktu
dahulu belum mengenal agama seperti sekarang ini. Mereka mempercayai suatu kepercayaan yang
dikenal dengan nama Aluk To Dolo yang juga disebut Alukta. Alukta merupakan
singkatan dari Aluk To Dolo. Kepercayaan ini oleh pemerintah Belanda pada waktu
itu dikategorikan sebagai kepercayaan animisme. Istilah Aluk To Dolo baru
popular setelah masuknya agama lain di Tana Toraja untuk membedakan keyakinan
semula dengan keyakinan yang datang kemudian. Secara harfiah Aluk berarti
kepercayaam atau agama. To Dolo artinya orang semula. Aluk To Dolo artinya
orang semula. Aluk To Dolo berarti agama atau kepercayaan orang semula atau
dahulu dengan kata lain agama atau kepercayaan peninggalan nenek moyang. Ajaran
agama To Dolo diturunkan oleh Puang Matua kepada nenek moyang manusia yang
pertama bernama Datu La Ukku’ dengan ajaran yang dikenal dengan sebutan Sukaran
aluk, yaitu aturan-aturan agama. Datu La Ukku’ di beri tugas oleh Puang Matua
untuk mengkoordinir dan berperan memelihara, membina dan mengembangkan seluruh
peranan alam semesta ini, antara lain untuk memelihara hubungan mereka dengan
Puang Matua sebagai penciptanya serta mengembangkan hubungan masing-masing isi
alam ini.
Ajaran yang diturunkan Puang Matua kepada
Datu La Ukku’, pada kisah yang lain bernama Puang Burang Langin, dan isterinya
Kembang Bura, ialah yang membawa Aluk dan Adat berjumlah 7.777 buah, dengan
sebutan Aluk Sanda Pitunna, yaitu Aluk pitung Sa’ba Pitung Ratu Pitung Pulo
Pitu. Aluk ini kemudian lebih dikenal dengan sebutan Aluk To Dolo yang artinya
agama leluhur, yaitu agama yang memuja leluhur dan berbakti kepada Tuhan yang
Maha Esa, yang mereka sebut dengan nama Puang Matua. Aluk Sunda Pituna inilah
yang dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-harinya orang Toraja dalam
kehidupan sosial kemasyarakatan, budaya, politik, ekonomi dan pertahanan, yang
dikenal dengan pesan “To Dolo”.
Menurut beberapa keterangan, penyebaran
pertama bernama Pahane, kelahiran Puan. Ia kawin di Kesu dengan seorang wanita
yang bernama Ambun. Namun tidak diketahui secara pasti kapan ajaran ini
dikembangkan, tetapi yang jelas, daerah Kesu[4]
dianggap sebagai daerah pertama pengembangan ajaran Aluk To Dolo ini dan diberi
nama Panta’-anakan lolona sukaran aluk, yang berarti kira-kira Dewa Muda
Syariat Agama. Karena ajaran itu hanya bersifat turun menurun, dan tidak banyak
berupa ajaran tertulis, ,maka praktek peribadatannya banyak terdapat perbedaan
antara satu suku daerah dengan daerah lainnya. Pada tiap-tiap desa praktek
peribadatan dipimpin oleh seorang yang bernama To Parenggo Sokkong Baju.
Terlepas dari berbagai informasi tentang asal muasal kata Aluk To Dolo
tersebut, yang jelas dapat dipastikan bahwa ajaran paham keagamaan Aluk To Dolo
diyakini sebagai agama atau kepercayaam orang-orang dahulu yang ada di Tana
Toraja, bahkan sampai saat ini masih banyak penganutnya, walaupun tidak
diketahui pasti berapa jumlah pengikutnya.[5]
Sebelumnya kita sudah mengetahui dan telah
dijelaskan sebelumnya, bahwa tidak diketahui secara pasti berapa jumlah penganut
agama Aluk To Dolo. Hanya diceritakan bahwa semua masyarakat Tana Toraja sudah
sejak dahulu mempercayai Alukta atau Aluk To Dolo sebagai agama yang mereka yakni
sebelumnya adanya agama lain di Tana Toraja. Menurut Dr. I. Y. Panggalo, M. T.h,
sekretaris Badan Pekerja Sinode Gereja Panggolo, bahwa pada tahun 1950-an
pemeluk agama Aluk To Dolo masih banyak, dan pada akhir tahun 1950 hingga tahun
1970 mereka banyak yang pindah ke agama lain, yaitu Kristen, Islam, Katolik dan
pada masa orde baru mereka dimasukkan ke dalam agama Hindu. Pada tahun 1980-an
di duga penganutnya berjumlah 20-30 ribu jiwa. Namun pada saat ini jumlah
tersebut sudah tidak sebanyak itu lagi. Penganut agama Aluk To Dolo saat ini
banyak tinggal di daerah-daerah pegunungan, menurut Tato Dena’ yang biasa di
panggil Nek Sando, seorang Rohaniawaan (Tomina). Sekaligus kepala adat di Tana
Toraja, bahwa penganut agama Aluk To Dolo masih menjalankan tradisi-tradisinya
sampai sekarang. Pada tahun 1955, pada pemilu pertama pengikut Aluk To Dolo
masih mayoritas. Namun akhir tahun 50-an banyak penganut agama Aluk To Dolo
yang dipaksa pindah agama ke agama lain, karena tidak ada yang melindungi agama
Aluk To Dolo. Dari peristiwa tersebut, banyak pengikut Alukta ini yang
ketakutan dan pindah agama karena di ancam dan di takut-takuti oleh PKI bahkan
ditangkap.
Setelah ada Sekber Golkar dan Departemen Agama, Agama Aluk To Dolo
berdasarkan SK dirjen Bimas Hindu dan Buddha No. Dd/M/200-VII/’69. Tanggal 15
Nopember 1969, dimasukkan menjadi penganut agama Hindu di bawah naungan Dirjen
Bimas Hindu dan Buddha, dan menunjuk petugas khusus yang dapat melaksanakan
tugas-tugas pemerintah yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan
kepentingan umum beragama umat Hindu asal Aluk To Dolo, yaitu Bato’ Rita
Palimbong. Ia bertugas atas nama Dirjen Bimas Hindu dan Buddha. Namun pada saat
itu penganut Aluk To Dolo sudah banyak yang pindah agama. Pada tahun 1983, tato
Dena bertemu dengan Drs. I Gusti Made Ngurah dan menyuruh untuk membentuk badan
kecil Parasidha Hindu, belum ada Indonesianya, seperti PHDI[6]
saat ini. Demi keberlangsungan kehidupan masyarakat Aluk To Dolo, maka tidak
ada pilihan bagi kami kecuali untuk bergabung dengan Parasidha Hindu pada waktu
itu, hingga saat ini. Mulaidari saat itu Agama Aluk To Dolo di Tana Toraja
disebut sebagai Agama Hindu dan ditambahkan di ujungnya dengan Alukta, sehingga
disebut Hindu/Alukta.[7]
a. Profil orang Aluk To dolo
Pada
umumnya masyarakat Aluk To Dolo adalah bercocok tanam, memelihara binatang
ternak, seperti ayam, itik, babi, kerbau, ikan mas dan kerajinan tanganm
seperti mengukir, menganyam, membuat sepatu, membuat kursi rotan, menenun kain,
dan banyak juga yang menjadi pegawai pemerintah , guru/dosen, dan lain-lain.
Orang Toraja dalam sehariannya mempergunakan bahasa mereka sendiri, yaitu
bahasa Toraja, selain bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Ciri bahasa
Toraja banyak memakai “koma a’in = (‘), seperti ta’de=haling, ma’rang=haus dan
lain-lain.
Dalam
strata sosial, orang Toraja pernah ada dan tingkatan sosial (kasta). Dalam
masyarakatnya, baik dalam kegiatan pemeliharan adat, upacara keagamaan, sikap
maupun tutur bahsa masing-masing mempunyai disiplin sendiri atau berbeda-beda.
Ada empat tingkatan sosial (kasta), yaitu: tingkatan pertama adalah dari kaum
bangsawan, tingkatan ke dua adalah golongan menengah yaitu dari bangsawan yang
dari golongan menengah, tingkatan ke tiga adalah rakyat merdeka atau rakyat kebanyakan,
dan yang terakhir ke empat adalah Kaunan atau budak dahulunya, mereka yang
menjadi tulang punggung masyarakat Toraja.[8]
b. Mitologi Tana Toraja
Konon, leluhur orang Toraja adalah
manusia yang berasal dari nirwana, mitos yang tetap melegenda turun temurun
hingga kini secara lisan dikalangan masyarakat Toraja ini menceritakan bahwa
nenek moyang masyarakat Toraja yang pertama menggunakan “tangga dari langit”
untuk turun dari nirwana, yang kemudian berfungsi sebagai media komunikasi
dengan Puang Matua (Tuhan Yang Maha Kuasa). Lain lagi versi dari DR. C. CYRUT seorang anthtropolog, dalam
penelitiannya menuturkan bahwa masyarakat Tana Toraja merupakan hasil dari
proses akulturasi antara penduduk (lokal/pribumi) yang mendiami daratan
Sulawesi Selatan dengan pendatang yang notabene adalah imigran dari Teluk
Tongkin (daratan Cina). Proses akulturasi antara kedua masyarakat tersebut,
berawal dari berlabuhnya Imigran Indo Cina dengan jumlah yang cukup banyak di
sekitar hulu sungai yang diperkirakan lokasinya di daerah Enrekang, kemudian
para imigran ini, membangun pemukimannya di daerah tersebut.[9]
Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku
Bugis Sidendereng dan dari Luwu. Orang Sidendreng menamakan penduduk daerah ini
dengan sebutan To Riaja yang mengandung arti “Orang yang berdiam di negeri atas
atau pegunungan”, sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah
“orang yang berdiam di sebelah barat”. Ada juga versi lain bahwa kata Toraya
asal To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang-orang
besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata
Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja.
Konon manusia yang turun ke bumi, telah dibekali dengan
aturan keagamaan yang disebut aluk. Aluk merupakan aturan keagamaan yang
menjadi sumber dari budaya dan pandangan hidup leluhur suku Toraja yang
mengandung nilai-nilai religius yang mengarahkan pola-pola tingkah laku hidup
dan ritual suku Toraja untuk mengabdi kepada Puang Matua.
Cerita tentang perkembangan dan penyebaran
Aluk terjadi dalam lima tahap, yakni: Tipamulanna Aluk ditampa dao langi’ yakni permulaan penciptaan
Aluk diatas langit, Mendemme’ di
kapadanganna yakni Aluk diturunkan kebumi oleh Puang Buru Langi’ dirura.
Kedua tahapan ini lebih merupakan mitos. Dalam penelitian
pada hakekatnya aluk merupakan budaya/aturan hidup yang dibawa kaum imigran
dari dataran Indo Cina pada sekitar 3000 tahun sampai 500 tahun sebelum masehi.
Beberapa Tokoh penting daiam penyebaran aluk, antara lain:
Tomanurun Tambora Langi’ adalah pembawa aluk Sabda Saratu’ yang mengikat
penganutnya dalam daerah terbatas yakni wilayah Tallu Lembangna.
Selain daripada itu terdapat Aluk Sanda
Pitunna disebarluaskan oleh tiga tokoh, yaitu : Pongkapadang bersama Burake
Tattiu’ menuju bagian barat Tana Toraja yakni ke Bonggakaradeng[10], sebagian Saluputti, Simbuang sampai pada
Pitu Ulunna Salu Karua Ba’bana Minanga, dengan membawa pranata sosial yang
disebut dalam bahasa Toraja “To Unnirui’ suke pa’pa, to ungkandei kandian
saratu yakni pranata sosial yang tidak mengenal strata. Kemudian Pasontik
bersama Burake Tambolang menuju ke daerah-daerah sebelah
timur Tana Toraja, yaitu daerah Pitung Pananaian,
Rantebua, Tangdu, Ranteballa, Ta’bi, Tabang, Maindo sampai ke Luwu Selatan dan
Utara dengan membawa pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja : “To
Unnirui’ suku dibonga, To unkandei kandean pindan”, yaitu pranata sosial yang
menyusun tata kehidupan masyarakat dalam tiga strata sosial.
Tangdilino bersama Burake Tangngana ke daerah bagian tengah Tana Toraja dengan membawa pranata sosial “To unniru’i suke dibonga, To ungkandei kandean pindan”, Tangdilino diketahui menikah dua kali, yaitu dengan Buen Manik, perkawinan ini membuahkan delapan anak. Perkawinan Tangdilino dengan Salle Bi’ti dari Makale membuahkan seorang anak. Kesembilan anak Tangdilino tersebar keberbagai daerah, yaitu Pabane menuju Kesu, Parange menuju Buntao’, Pasontik ke Pantilang, Pote’Malla ke Rongkong (Luwu), Bobolangi menuju Pitu Ulunna Salu Karua Ba’bana Minanga, Bue ke daerah Duri, Bangkudu Ma’dandan ke Bala (Mangkendek), Sirrang ke Dangle.[11]
Tangdilino bersama Burake Tangngana ke daerah bagian tengah Tana Toraja dengan membawa pranata sosial “To unniru’i suke dibonga, To ungkandei kandean pindan”, Tangdilino diketahui menikah dua kali, yaitu dengan Buen Manik, perkawinan ini membuahkan delapan anak. Perkawinan Tangdilino dengan Salle Bi’ti dari Makale membuahkan seorang anak. Kesembilan anak Tangdilino tersebar keberbagai daerah, yaitu Pabane menuju Kesu, Parange menuju Buntao’, Pasontik ke Pantilang, Pote’Malla ke Rongkong (Luwu), Bobolangi menuju Pitu Ulunna Salu Karua Ba’bana Minanga, Bue ke daerah Duri, Bangkudu Ma’dandan ke Bala (Mangkendek), Sirrang ke Dangle.[11]
Itulah yang membuat seluruh Tondok
Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo diikat oleh salah satu aturan yang dikenal
dengan nama Tondok Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo arti harfiahnya adalah
“Negri yang bulat seperti bulan dan Matahari”. Nama ini mempunyai latar
belakang yang bermakna, persekutuan negeri sebagai satu kesatuan yang bulat
dari berbagai daerah adat. Ini dikarenakan Tana Toraja tidak pernah diperintah
oleh seorang penguasa tunggal, tetapi wilayah daerahnya terdiri dari kelompok
adat yang diperintah oleh masing-masing pemangku adat dan ada sekitar 32
pemangku adat di Toraja. Karena perserikatan dan kesatuan kelompok adat
tersebut, maka diberilah nama perserikatan bundar atau bulat yang terikat dalam
satu pandangan hidup dan keyakinan sebagai pengikat seluruh daerah dan kelompok
adat tersebut.[12]
Menurut Tato Dena’ (Tomina), Sila
Siapa’ (Ketua adat Aluk To Dolo
Sekecamatan Salapputi), Mani’ (Penganut Aluk To Dolo), bahwa ada beberapa pokok ajaran dalam paham
keagamaan Aluk To Dolo, yaitu:
Konsep
Ketuhanan
Tuhan yang tertinggi adalah Puang Matua, pencipta manusia pertama
dan alam segala isinya. Puang Matua atau
Totumampata ( yang menciptakan manusia ). Tato Dena’ ( Nek Sando ),
sangat keberatan jika agama Aluk To Dolo
dianggap kepercayaan terhadap animisme, politisme bahkan sinkretisme. Menurut
beliau, agama Aluk To Dolo tidak
menyembah batu-batu, pohon-pohon besar, hewan dan tumbuh-tumbuhan, seperti yang
dituduhkan kebanyakan orang selama ini. Agama Aluk To Dolo menyembah Tuhan yang disebut Puang Matua ( Totumampata ). Adapun pohon, batu, hewan
dan tumbuhan hanya media saja sebagai alat komunikasi untuk menuju kepada Puang Matua.
Puang
Matua atau Tuhan-nya orang alukta sebagai pencipta segalanya, dimana sinarnya yang
menghidupkan Deata uta ( masing-masing
punya jiwa ), apabila ia terpisah dari kita, maka biasanya manusia bisa
melihat, tapi bila telah melihat kearah mati atau jiwa yang sudah pergi ( bombo mediatana ),
dan bila telah menghembuskan nafas terakhirnya ( bombo mengka puangana ). Puang
Matua memberikan kuasa dan tugas pengawasan dan pengaturan tertibnya
kehidupan masyarakat kepada Dewata,
yang disebut nama Deata Titanan Tallu yang
artinya Dewa berada di tiga tempat, yaitu:
1. Dewa dilangit dunia atas ( Tanggana Langi ), yaitu dewa sang
pemelihara di langit. Dewa yang menguasai isi langit dan cakrawala.
2. Dewa menopang bumi ( Deata Patulakanannan Puang Karande Karua ), artinya yang menopang
di enam bahkan delapan penjuru mata angina.
3. Dewa di atas muka bumi ( Deata pannopadang puangla’abidaenan ), berarti
ada dimana-mana, dia mengusai gunung, lembah, langit, bumi, hutan, padang
ilalang, dan semuanya.[13]
Ketiga, Dewa tersebut disebut Deata Titanan Tallu Puang Tirindu Batu
Lalikan, artinya Dewa itu terbagi dalam tiga tempat. Dari konsep Deata tersebut yang melahirkan dua
upacara keagamaan pada masyarakat Aluk To
Dolo, yaitu Aluk Rambu Tuka, dan
Aluk Rambu Solo’.
Agama Aluk
To Dolo mengajarkan umatnya untuk sembahyang setiap saat, dimana kalau dia
ingin sembahyang atau menghadap kepada leluhur dia harus menghadap keselatan
atau kebarat. Bila ingin menghadap ke Dewa, maka dia harus menghadap ke timur
atau utara. Agama Aluk To Dolo juga
mengenal adanya nabi. Dalam ajaran alukta,
nabinya adalah nenek moyang mereka sendiri di Tana Toraja, yaitu nabitangdilino’dan Puang Tomboro’Langi’. Dikatakan
nabi karena mereka inilah yang membagi atau menyebarkan ajaran Aluk. Namun dalam ajaran Alukta tidak ada kitab suci, dikarenakan
tidak ada orang yang mencatat ajaran-ajarannya kedalam sebuah buku atau kitab.
Kami pengikut Alukta hanya
mengandalkan ingatan - ingatan di kepala kami saja secara turun temurun,
demikian diungkapkan Nek Sando.[14]
Agama Aluk
To Dolo atau Alukta berupa aturan-aturan keagamaan yang bernilai religius
yang bersumber dari Puang Matua
sebagai pandangan hidup dan sekaligus menjadi budaya masyarakat Tana Toraja.
Hukum Aluk To Dolo ini disebut Pemali. Pemali ini harus di patuhi oleh penganutnya. Pemali antara lain:
1. Pemali
urusak potedi bolong, artinya tidak
boleh mengganggu upacara penguburan orang mati.
2. Pemali
ma’panganbuni’, artinya tidak boleh
berzina.
3. Pemali
unromok tatanan pasak, artinya tidak
boleh mengacau pasar.
4. Pemali
unteka’ palanduan, artinya golongan
budak dilarang kawin dengan golongan Tomakaka
dan Tokapua[15].
5. Pemali
massape-ae’, artinya tidak boleh
meninggalkan rumah pada hari yang sama dengan arah yang berdeda.
6. Pemali
Boko, artinya tidak boleh mencuri.
7. Pemali
umboko sunga’na pedanta telino, artinya jangan
membunuh sesama manusia.
8. Pemali
ma’kada penduan, artinya tidak boleh berdusta.
9. Pemali
unkasirisan deata misanta, artinya
jangan mengkhianati orang tua.
10. Pemali
ungkattai bubun, artinya jangan buang
hajat besar di sumur.
11. Pemali
umbala’bala tomanglaa, artinya jangan
menyiksa anak gembala.
12. Pemali
maloko, artinya dilarang mengambil
barang dikuburan.
Adapun pelanggaran terhadap pemali diberi sanksi berbeda-beda
menurut berat ringannya pelanggaran tersebut. Sanksi yang berat seperti
membunuh. Bila seorang membunuh, maka semua keluarga dari yang dibunuh
bersumpah turun temurun tidak boleh berhubungan dalam bentuk apapun dengan
keluarga pembunuh. Sanksi yang ringan seoarang hamba yang kawin dengan golongan
bangsawan diusir seumur hidup dari masyarakat Tana Toraja.
Dalam Ajaran Agama Aluk To Dolo juga mengenal do’a - do’a dalam kehidupan sehari-hari
mereka seperti juga dalam agama lainnya. Ada beberapa bacaan do’a - do’a pendek dalam Ajaran Alukta atau Aluk To Dolo, seperti:
1. Do’a akan makan atau minum, ini harus
menghadap ke utara atau timur, bacaannya adalah:
Kurre sumanga’na
teburanna padang ladi popa muntu ti’i pe’.
Artinya:
Syukurilah hasil bumi ini, kita akan mencicipinya semoga kekuatannya bagaikan
besi yang tidak patah.
2. Do’a pergi keluar rumah, bacaannya adalah:
Kurre suma’na te kaling
kangku de na’ upa’ utang titodo sangka’ lako tutunna lalan.
Artinya:
Syukurilah saya akan melangkahkan kaki dari tempat ini, semoga diperjalanan
tidak ada halangan apa-apa.
3. Do’a pulang kerumah, bacaannya adalah:
Kurre sumonga’ sulemana’
pa siamo’.
Artinya:
Syukurilah, aku sudah kembali dengan selamat.
4. Do’a anak-anak baru lahir dido’akan oleh
Tominna[17].
Dalam acara itu terkadang do’a-do’a itu intinya adalah sebagai berikut;
a.
Kamu deata untarana kialo’kebongi.
Atinya:
Disandarkan kepada dewa yang mengasuh dia siang dan malam.
b.
Tadoairi panotoba’ tang benni papa tuwinawa.
Artinya:
Berikanlah dia kesabaran bahkan kepintaran.
c.
Anna pannotoba’teng unda’ka’ eanan sanda makamban sola
barengapa sandarupanna.
Artinya:
Berilah dia kesadaran dan kepintaran, semoga dapat mencari harta untuk hidupnya
di muka bumi ini.
5. Do’a orang sakit agar cepat sembuh,
bacaannya adalah:
Denupa’ naeate
sakiunangga’ lanbatang dikalena lati losong tengko anna mesonda, palesusampe
tama pale suan annan ana susi manuku dira’ pannah annante bande patia’
Arrtinya:
Semoga penyakitnya keluar melalui bantuannya dan kembali sehat bagaikan ayam
yang lepas dan burung yang terbang.[18]
Aluk Todolo atau Alukta
adalah aturan tata hidup yang telah dimiliki sejak dahulu oleh masyarakat Suku
Toraja, Sulawesi Selatan. Aturan tata
hidup tersebut berkenaan dengan sistem pemerintahan, sistem kemasyarakatan, dan
sistem kepercayaan.[19]
Sesuai dengan
sistem kepercayaan dan konsep ketuhanan yang dianut oleh para penganut Alukta,
maka praktek penyembahan kepada para dewa disesuaikan dengan tindakan dan
permohonan penyembahannya. Penyembahan itu dilakukan untuk memohon ampun atau
tanda syukur terhadap nikmat yang diterimanya, misalnya karena turunnya hujan,
menguningnya padi dan berkembangnya ternak pemeliharaan.
·
Penyembahan, Tingkatan-tingkatan, dan Struktur Aluk
Todolo
Penyembahan
kepada para dewa dilakukan pula karena menerima musibah, seperti sakit dan
rusaknya tanam-tanaman atau karena memulai sesuatu pekerjaan, seperti mulai
bertanam padi, menebang pohon, mulai mendirikan rumah dan sebagainya.[20]
Penyembahan pun ada tingkatan-tingkatannya:
§ Ma’Babo bo’bo yaitu upacara penyembahan yang dilakukan seseorang yang dianggap
tidak mampu. Dengan menyajikan sedikit nasi yang diambil dari tempat nasi dan
ditempatkan didaun pisang kemudian diletakkan di sudut rumah.
§ Ma’Piong sanglampa yaitu setingkat dibawah ma’babo bo’bo. Satu Piong
Lembang ditambah anak ayam yang paling kecil.
§ Ma’Likarang biag yaitu tiga piong lemang dan seekor ayam jantan kecil.
§ Ma’tadoran yaitu selamatan yang dilengkapi dengan memotong babi dan ayam.
§ Ma’tete’auo yaitu pada tingkat ini upacara dilakukan dengan memotong babi
lebih dari satu.
§ Ma’palang yaitu sajian dan cara upacara lebih meningkat lagi.
§ Manganta’ yaitu upacara dilakukan jika suatu kampong terkena penyakit
menular, seperti penyakit cacar.
§ Merek yaitu pemotongan babi dilakukan tanpa terbatas.
§ Ma’bua yaitu suasana upacara lebih meriah lagi karena dilaksanakan oleh
orang yang paling kaya dan dihadiri oleh orang sekampung.
Dalam struktur keagamaan nenek
moyang dalam ajaran Aluk To Dolo di Tana Toraja mempunyai cirri dan
penerapannya berbeda-beda sesuai dengan adat daerah masing-masing. Walaupun
maksud dan tujuannya sama. Struktur keagamaan di Talolembang, Tana Toraja,
adalah:
1.
Puang (Raja).
2.
Toparenge’ adalah
penanggung jawab adat dan agama.
3.
Tobara’ adalah
pembantu Toparenge’ dalam membina adat. Dalam tiap desa biasanya ada
atau empat Tobara’.
4.
Tomenani dan Tominna
(Rohaniawan/pendeta/ustad), mereka ini mempunyai tugas memberikan petunjuk
kepada pengikutnya. Tomina ini mengetahui ajaran Aluk To Dolo dan
mereka kuat ingatnnya karena peraturan agama tidak ada yang ditulis. Tomina
mempunyai bahasa yang sulit dipahami oleh orang biasa. Penghidupan Tomina
sangat sederhana.
5.
Toburake merupakan
banci yang mendapatkan ilham, yang dapat menyembuhkan penyakit dan bertindak sebagai
dukun serta memelihara gadis-gadis yang dipingit dalam Ma’bua’ka sale (upacara
tertinggi dalam rumpun tertinggi).
6.
Pe toeatu’: yaitu orang
yang berhak melaksanakan ritual keagamaan Rambu
Solo’ dan Rambu Tuka’. Petugasnya
Rambu Solo’disebut toma’ kayo
atau toma’ balun, orang ini yang bertugas membungkus dan memandikan
mayat. Namun pada saat ini mayat dimandikan oleh keluarganya. Sedangkan petugas
Rambu Tuka’ disebut Tominna/Tominani atau Toburake.
Upacara keagamaan di Tana Toraja di
bagi dua. Yaitu: Upacara Kematian atau Rambu
Solo’ (aluk rampe matampu) dan upacara syukuran atau rambu tuka (aluk rampe matallo). Upacara Rambu Solo’ , merupakan upacara keagamaan yang mempersembahkan
kerbau dan babi untuk menghantarkan arwah leluhur atau untuk orang yang
meninggal dunia agar jiwa seseorang tersebut damai dan selamat meninggalkan
dunia yang fana menuju dunia jiwa yang tentram di Puya. Sedangkan upacara Rambu
Tukak merupakan upacara syukuran yang menggembirakan atas segala yang baik-baik.
Upacara ini dilaksanakan pada pagi hari dibagian timur dan selalu menghadap ke
timur. Upacara ini untuk menyembah deata dan
Puang Matua dengan memotong ayam, babi atau kerbau.
a)
Upacara Kematian
Upacara kematian (Rambu Solo’) merupakan salah satu bentuk
ritual yang digelar keluarga Aluk To Dolo untuk menghormati arwah orang sudah
meninggal. Ritual Rambu Solo’ digelar semeriah mungkin agar arwah orang
meninggal tersebut ke Puya
(surge/akherat) tidak terhambat. Mereka mempercayai bahwa jiwa orang yang meninggal
bisa mengendarai jiwa kerbau dan babi yang dikorbankan. Makanya hewan yang
terbaik sebagai kendaraan menuju ke Puya adalah Kerbau Tedong Bonga yang
dianggap kuat untuk melintasi gunung dan lembah Puya.[22]
Selain itu, Rambo Solo menjadi kewajiban bagi keluarga yang
ditinggalkan. Karena hanya dengan cara Rambu Solo, arwah orang yang meninggal
bisa mencapai kesempurnaan di Puya. Maka keluarga yang ditinggalkan akan
berusaha semaksimal mungkin menyelenggarakan Upacara Rambu Solo. Akan tetapi,
biaya yang diperlukan bagi sebuah keluarga untuk menyelenggarakan Rambu Solo
tidaklah sedikit. Oleh karena itu, upacara pemakaman khas Toraja ini seringkali
dilaksanakan beberapa bulan bahkan sampai bertahun-tahun setelah meninggalnya
seseorang.[23]
Ada beberapa tingkatan dalam upacara
Rambu Solo’, yaitu:
·
Disisli adalah upacara kematian/pemakaman paling sederhana. Orang miskin
dari tingkatan budak sering dikuburkan dengan hanya membekali mayat dengan
telur ayam tanpa upacara keagamaan.
·
Dipasang Bongi adalah upacara kematian yang dilakukan hanya satu malam di rumah
dan hanya seekor kerbau dipotong dan beberapa ekor babi. Upacara ini bagi orang
tua dari golongan terendah atau golongan menengah yang tidak mampu ekonominya.
·
Dipatallung Bongi adalah upacara penguburan yang berlangsung selama tiga malam di
rumah. Empat ekor kerbau dan babi sepuluh ekor.
·
Dipalimang Bongi, upacara pemakaman selama lima hari lima malam.
·
Dipapitung Bongi, upacara tujuh hari tujuh malam. Setiap hari dan setiap malam ada
acara pemotongan kerbau dan babi, keluarga terdekat pantang makan nasi selama
acara berlangsung. Banyak babi dipotong, kerbau sebanyak 9 sampai 20 ekor.
·
Dirapai, upacara pemakaman orang meninggal yang paling mahal karena dua kali
diupacarakan sebelum dikubur. Upacara pertama diadakan di rumah Tongkonandan kemudian diistirahatkan
satu tahun kemudian upacara ke dua diadakan. Upacara ke dua, orang meninggal
dipikul ratusan orang dari tongkonan atau
rante tempat upacara ke dua. Upacara
ini disebut ma’palo/ ma’pasonglo’. Orang meninggal dibungkus kain merah dilapis
emas, diikuti oleh tau-tau dan janda
almarhum dalam usungan yang dihiasi emas serta diiringi oleh puluhan ekor
kerbau jantan yang siap diadu satu lawan satu. Dirapai terbagi tiga (3) rapasan
dilayu-layu, dengan target terendah dua belas ekor kerbau. Kemudian rapasan
sundun, dengan target minimum 24 ekor kerbau yang dipotong, rapasan
sapurandanan dengan jumlah terendah 30 ekor kerbau yang dipotong.[24]
b)
Tempat Pemakaman
Di Tana Toraja banyak
terdapat gunung batu dengan gua-gua yang jauh menjorok ke dalam gunung. Bagi
suku Toraja yang tingkat ekonominya rendah, kerangka-kerangka jenaza mereka
diletakkan begitu saja di dalam gua. Tapi bagi kalangan bangsawan orang-orang
kaya, pemakaman mereka disimpan dalam liang buatan pada ketinggian ± 10 meter
di tepi tebing batu yang hamper tegak lurus. Lubang itu digali dengan alat
sederhana, seperti botol, palu, kampak, dan lain-lain. Pembuatan lubang itupun
menghabiskan waktu tidak kurang dari 4 tahun, bahkan sebuah lubang yang
disediakan untuk keluarga akan menghabiskan waktu puluhan tahun, mengingat
lubang itu harus mampu ditempati peti kerangka yang kedalamannya tidak kurang
dari dua meter, sementara panjang dan lebarnya sesuai dengan kebutuhan.
Menurut Lewis A. Coser:
adanya praktik upacara yang
berbeda-beda bentuk pelaksanaannya, baik dari hal waktu dilaksanakan, bentuk
upacara, dan tingkat upacaranya. Ada upacara yang berlangsung hanya satu hari
dan tidak boleh bermalam, tetapi ada juga upacara yang dapat berlangsung selama
satu-dua malam, atau pun lebih dari
tiga malam. Bentuk upacara yang dilakukan berbeda-beda untuk upacara yang
berlangsung selama satu hari, satu-dua malam, atau yang lebih dari tiga malam.
Hal itu dapat dilihat dari persiapan tempat untuk upacara pemakaman yang mana
sangat bervariasi. Ada yang hanya memasang tenda, ada juga yang menyiapkan
tempat berupa pondok/rumah (biasa disebut Lantang) dengan posisi melingkar di
sebuah halaman yang luas (yang disebut Rante).
Ada yang menggunakan kain merah dan
ukiran, ada yang memakai patung, ada yang memiliki tempat khusus untuk menerima
tamu yang datang, ada yang memiliki Lakkian (tempat menaruh jenasah selama
upacara berlangsung), tetapi ada juga yang tidak boleh memakai kain merah dan
Lakkian. Fakta lain yang juga peneliti
temukan di lapangan ialah adanya perbedaan dalam bentuk dan banyaknya binatang
yang dikorbankan (contohnya: babi dan kerbau). [25]
c)
Kelahiran dan Kematian Anak
Sebenernya
tidak ada suatu upacara khusus dalam menyambut kelahiran anak. Persyaratan
minimal adalah bantuan sang dukun dalam melahirkan, yang kemudian dihadiahi 20
ikat padi dan uang sekedarnya. Jika si bayi meninggal dalam keadaan belum
tumbuh gigi, maka upacara adalah disilli,
yakni jenazanya tidak boleh disemayamkan dirumah, tetapi bpleh dipotongkan
ayam.[26]
Jika si anak
menjelang dewasa, suatu keharusan bagi mereka untuk sunat. Proses upacara sunat
itu dilakukan secara sembunyi. Aib bagi orang dewasa kalau diketahui bahwa ia
belum disunat.[27]
d)
Pinangan/Perkawinan
Beberapa hari menjelang pernikahan, keluarga mengadakan mappaci,
yaitu malam berbedak, bersolek, dan memerahi kuku atau berinai. Pada hari ini
yang telah ditetapkan, kedua mempelai melakukan akad nikah menurut agama Islam
yang dilakukan oleh penghulu, kemudian kedua mempelai melakukan upacara adat,
yaitu mempelai pria menyentuh salah satu anggota badan mempelai wanita, seperti
ibu jari atau tengkuk. Itu berarti bahwa mempelai wanita telah sah menjadi
mempelai pria. Setelah itu, keluarga mempersandingn kedua pengantin di
pelaminan, disaksikan oleh para tamu. Seluruh upacara perkawinan yang
diramaikan dengan pesta ini berlangsung di rumah mempelai wanita dan upacara
ini dinamakan marola.[28]
BDisetiap daerah tradisi alukta ini
berbeda-beda dalam tahapan upacara keagamaannya, namun demikian intinya sama
yaitu sama-sama menjalankan ajaran nenek moyang dulu menuju ke Puang Matua. Di Kecamatan Makale, Mekende’ dan Sangala’ yang nama lainnya Talu
Lembang, tahapan-tahapan perkawinannya adalah sebagai berikut:
·
Di bo’ bo’ b’d’ngi, yaitu dimana pria diantar saja di rumah wanita selama 3 malam, setelah
itu baru di jamu semua keperluannya, perkawinan dianggap sudah sah (dipasanda
bongi).
·
Sinna suan, artinya
ritual keagamaan berdasarkan 2 ekor babi dan pengantinnya diantar pada malam
hari.
·
Rannufanang kappa disurangkana, dimana babi yang dipotong sekurang-kurangnya 2 ekor.
·
Kaberian allo, dimana
perkawinan tertinggi seperti matahari, sehingga kawin harus pake potong kerbau.[29]
Dalam konsep perkawinan mereka,
perceraian dapat dilakukan, namun denda yang harus dibayar untuk perceraian pun
tidaklah sedikit. Bagi Kasta Tona Bulan akan dikenakan denda sebanyak 29
kerbau. Bagi Kasta Tona Basi akan dikenakan denda 12, 8, 4 dan dua ekor kerbau.[30]
Sistem kepercayaan yang dikenal pertama
dan ada sampai sekarang di Tana Toraja adalah Aluk To Dolo. Sistem kepercayaan
ini muncul pada abad ke 9M, yang apabila kita bandingkan dengan kemunculan
Banua Tamben sebagai bentuk rumah Toraja ketiga pada abad 8 M dapat disimpulkan
bahwa Aluk To Dolo tercipta setelah mendapatkan pengaruh dari budaya luar yang
dikatakan oleh masyarakat Toraja sebagai puang-puang lembang.
Pengaruh yang ada semenjak abad ke 4 M di
Indonesia adalah pengaruh Hindu-Buddha, karena semenjak abad ke 4 M mulai
berdiri kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia.
Masuknya agama dan kebudayaan Hindu-Buddha
sangat mempengaruhi kehidapan masyarakat di Indonesia baik dalam kehidupan
politik, sosial, budaya, maupun keagamaan. Dengan masuknya agama dan kebudayaan
Hindu-budhha menjadikan bangsa Indonesia mulai mengenal tulisan Pallawa dan
baha Sansekerta. Dengan demikian, nbangsa Indonesia mulai memasuki zaman
sejarah.
Unsur-unsur kebudayaan Hindu-Buddha dari
India yang masuk ke wilayah lokal Indonesia, tidak langsung ditiru, tetapi
sudah dipadukan dengan unsur kebudayaan asli Indonesia sehingga terbentuklah
unsur kebudayaan baru yang dapat dikatakan lebih sempurna. Proses pencampuran
antara Hindu dengan religi dan sosial budaya dari masyarakat Toraja seperti
penyembahan kepada tiga unsur seperti penyembahan Trimurti agama Hindu serta sistem
kasta yang terbagi empat pada masyarakat Toraja, sama halnya dengan sistem
kasta berdasarkan agama Hindu. Aluk To Dolo dapat dikatakan sebagai pencampuran
dari unsur lokal dengan agama Hindu, karena Aluk To Dolo juga menyembah kepada
3 unsur, yaitu:
1. Puang Matua[31]
2. Deata-deata
3. To Mambali Puang
Pembagian kasta pada masyarakat Toraja sebagaimana
struktur masyarakat Hindu di India, juga dikenal menjadi 4 kasta, yaitu:
1. Tana’ bulaan terdiri dari bangsawan tinggi
2. Tana’ bassi terdiri dari bangsawan
menengah
3. Tana’ karurung terdiri dari rakyat merdeka
4. Tana’ kua-kua terdiri dari hamba sahaya.
Seiring berjalan waktu sistem kepercayaan
Aluk To Dolo ini dihadapkan dengan agama-agama yang dibawa oleh bangsa
pendatang, Agama Islam dibawa oleh para pedagang Bugis pada abad 15 M (1675).
Akan tetapi akibat dari masuknya Islam ke Toraja dan tidak adanya toleransi
dari religi lokal Aluk To Dolo dari Islam maka akhirnya timbullah perang pada
1683. Sedangkan agama Kristen dibawa oleh pemerintah kolonial Belanda pada
tahun 1900. Setelah melalui proses lama, akhirnya agama Kristen dapat diterima
karena ajaran Kristen dapat mentolerir ajaran Aluk To Dolo.[32]
Pada tahun 1920-an, misi penyebaran agama Kristen mulai dijalankan dengan
bantuan pemerintah kolonial Belanda. Selain menyebarkan agama, belanda juga
menghapuskan perbudakan dan menerapkan pajak daerah.
Misionaris Belanda yang baru datang
mendapat perlawanan kuat dari suku Toraja karena penghapusan jalur perdagangan
yang menguntungkan Toraja. Beberapa orang Toraja telah dipindahkan ke dataran
rendah secara paksa oleh Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak ditetapkan pada
tingkat yang tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti kekayaan para elit
masyarakat. Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tidak merusak
budaya Toraja, dan hanya sedikit orang Toraja yang saat itu menjadi Kristen.
Pada tahun 1950, hanya sekitar 10% orang Toraja yang berubah agama menjadi
Kristen. Pada tahun 1930-an penduduk muslim didaratan rendah menyerang Toraja.
Akibatnya, banyak orang Toraja yang ingin bekerja sama dengan Belanda untuk
berpindah ke agama Kristen agar mendapatkan perlindungan politik, dan dapat
membentuk gerakan perlawanan terhadap orang-orang Bugis dan Makassar yang
beragama Islam.[33]
Antara tahun 1951 dan 1965 setelah
kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan mengalami kekacauan akibat
pemberontakan yang dilancarkan Darul Islam[34],
yang bertujuan untuk mendirikan sebuah Negara Islam di Sulawesi. Perang gerilya
yang berlangsung selama 15 tahun tersebut turur menyebabkan semakin banyak
orang Toraja berpindah ke agama Kristen.[35]
Upacara Keagamaan upacara penyembahan
Culculture.blogspot.com art-andarias.blogspot.com
Tingkatan Orang Miskin suku Toraja tingkatan Orang Kaya Suku Toraja
Beritaastrabudaya.blogspot.com octaviani951022.wordpress.com
Struktur Suku Orang Toraja (Puang) Upacara Kematian
Manukallodanga.wordpress.com derosaryebed.blogspot.com
Upacara
Pemakaman Upacara
Kematian Anak
Balitour.net www.torajaparadise.com
Upacara Perkawinan Suku Toraja
DAFTAR PUSTAKA
Rosadi, Achmad. Perkembangan Paham Keagamaan Lokal Di Indonesia.
Jakarta:Puslitbang Kehidupan keagamaan
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. 2011
Johanes Raymond
Hartanto. ”Wujud Sinkretisme Religi Aluk
To Dolo Dengan Agama Kristen Protestan”. 2008
Rotua Tresna Nurhayati
Manurung. “Upacara Kematian di Tana
Toraja”. Dalam Kertas Karya Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara
Medan. 2009
Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa
Suku di Indonesia. Jakarta: Perpustakaan Nasional. 1999
Panggara, Robi. konflik
kebudayan. Toraja: Sekolah Tinggi Theologia Jaffray. 2014
http://id.m.wikipedia.org/wiki/suku Toraja. Diakses
pada tanggal 9 Februari 2016
Aluk Todolo Kepercayaan Suku Toraja, Diakses Pada 22 April 2016, dari http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/1020/aluk-todolo-kepercayaan-suku-toraja.
Upacara Adat Rambu Solo, Diakses Pada 22 April 2016, Dari http://hasanuddin-airport.co.id/detail/wisata/upacara-adat-rambu-solo039-upacara-pemakaman--toraja.
Pemakaman Khas
Toraja Upacara Rambu Solo, Diakses Pada 22 April 2016, Dari
http://www.gocelebes.com/pemakaman-khas-toraja-upacara-rambu-solo/.
Dwi Hardianto, Makalah Tentang Toraja
Diakses Pada 22 April 2016, Dari http://blaketupruk.blogspot.co.id/2010/01/makalah-tentang-toraja.html.
[3] Achmad
Rosadi. Perkembangan Paham Keagamaan
Lokal Di Indonesia. (Jakarta:Puslitbang Kehidupan keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
RI, 2011) hal.186-187
[4] Daerah
Kesu adalah suatu desa wisata di kawasan Tana Toraja yang dikenal karena adat
dan kehidupan tradisional masyarakat dapat ditemukan di kawasan ini
[5] Achmad
Rosadi. Perkembangan Paham Keagamaan
Lokal Di Indonesia. (Jakarta:Puslitbang Kehidupan keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
RI, 2011) hal.190-191
[6] PHDI
adalah singkatan dari Parisida Hindu Dharma Indonesia, PHDI adalah majelis umat
Hindu Indonesia yang mengurusi kepentingan keagamaan maupun sosial.
[7] Achmad
Rosadi. Perkembangan Paham Keagamaan
Lokal Di Indonesia. (Jakarta:Puslitbang Kehidupan keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
RI, 2011) hal.192-193
[8] Achmad
Rosadi. Perkembangan Paham Keagamaan
Lokal Di Indonesia. (Jakarta:Puslitbang Kehidupan keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
RI, 2011) hal.189-190
[11] Kesu, Buntao’, Pantilang, Rongkong (Luwu), Pitu Ulunna
Salu Karua Ba’bana Minanga, Duri, Bangkudu Ma’dandan ke Bala , Dangle. Semua
itu adalah
sebuah kecamatan di Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan, Indonesia.
[12] http://titusbercerita.blogspot.co.id/2011/11/asal-mula-tana-toraja.html.
Di akses pada tanggal 24 April 2016 pada pukul 10:50
[13]Achmad Rosadi. Perkembangan Paham Keagamaan Lokal Di
Indonesia. (Jakarta:Puslitbang Kehidupan keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
RI, 2011) hal.194
[14] Achmad Rosadi. Perkembangan Paham Keagamaan Lokal Di
Indonesia. (Jakarta:Puslitbang Kehidupan keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
RI, 2011) hal.196
[15] Tokapua ini adalah
tingkatan pada orang Tana Toraja, golongan ini terdiri dari kaum bangsawan,
pemimpin adat, dan pemuka masyarakat.
[16]Achmad Rosadi. Perkembangan Paham Keagamaan Lokal Di
Indonesia. (Jakarta:Puslitbang Kehidupan keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
RI, 2011) hal.196
[17] Tominna adalah salah
satu tokoh adat masyarakat Toraja yang dalam kepercayaan leluhur masyarakat
Toraja yang disebut Aluk To Dolo berfungsi sebagai pendoa dan pemimpin
pemberian sesajen.
[18]Achmad Rosadi. Perkembangan Paham Keagamaan Lokal Di
Indonesia. (Jakarta:Puslitbang Kehidupan keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
RI, 2011) hal.197-198
[19] Aluk Todolo Kepercayaan Suku Toraja, Diakses Pada
22 April 2016, dari http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/1020/aluk-todolo-kepercayaan-suku-toraja
[20]
Neng Darol Afia, Tradisi dan Kepercayaan
Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia, (Jakarta: Perpustakaan Nasional, 1999),
h.122.
[21]
Neng Darol Afia, Tradisi dan Kepercayaan
Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia, (Jakarta: Perpustakaan Nasional, 1999),
h.122.
[22] Upacara Adat Rambu Solo, Diakses Pada 22 April 2016, Dari http://hasanuddin-airport.co.id/detail/wisata/upacara-adat-rambu-solo039-upacara-pemakaman--toraja.
[23] Pemakaman Khas Toraja Upacara Rambu Solo, Diakses Pada 22 April 2016, Dari
http://www.gocelebes.com/pemakaman-khas-toraja-upacara-rambu-solo/.
[24]
Neng Darol Afia, Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di
Indonesia, (Jakarta: Perpustakaan Nasional,1999), h. 198-201.
[26]
Neng Darol Afia, Tradisi dan Kepercayaan
Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia, (Jakarta: Perpustakaan Nasional,1999), h.124.
[27] Neng
Darol Afia, Tradisi dan Kepercayaan Lokal
pada Beberapa Suku di Indonesia, (Jakarta: Perpustakaan Nasional,1999), h.124.
[28] Dwi Hardianto, Makalah Tentang Toraja Diakses Pada 22 April 2016,
Dari http://blaketupruk.blogspot.co.id/2010/01/makalah-tentang-toraja.html.
[29]
Neng Darol Afia, Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di
Indonesia, (Jakarta: Perpustakaan Nasional,1999), h. 204.
[30]
Neng Darol Afia, Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di
Indonesia, (Jakarta: Perpustakaan Nasional,1999), h. 125.
[31]
Sebutan “tuhan” bagi masyarakat suku Toraja yang menganut paham Aluk To Dolo
[32]
Johanes Raymond Hartanto. Wujud
Sinkretisme Religi Aluk To Dolo Dengan Agama Kristen Protestan. Hal.11-14
[34] Darul Islam adalah
tentara Islam Indonesia, merupakan gerakan politik yang didirikan pada tanggal
7 Agustus 1949 oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di sebuah desa yang
berada di Tasikmalaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar