A.
Sejarah Suku Mbojo
Sumber: raried22.wordpress.com
|
Sumber: Mukhtar-api.blogspot.com |
Legenda tersebut tertulis dalam Kibat Bo’.
Ceritanya berawal dari kedatangan seorang pengembara dari Jawa yang bernama
Bima tadi.Bima merupakan seorang Pandawa Lima yang melarikan diri ke Bima pada
masa pemberontakan di Majapahit.Dia melarikan diri melalui jalur selatan agar
tidak diketahui oleh para pemberontak, lalu berlabuh di Pulau Satonda.
Bima menikah dengan salah seorang putri di
wilayah tersebut, dan memiliki anak. Bima memiliki karakter yang kasar dan
keras, tapi teguh dalam pendirian serta tidak mudah mencurigai orang lain.
Lalu, para Ncuhi mengangkat Bima menjadi Raja pertama wilayah tersebut yang
kemudian menjadi daerah yang bernama Bima.Sang Bima dianggap sebagai raja Bima
pertamanya.
Hanya saja, Sang Bima meminta kepada para
Ncuhi supaya anaknya yang diangkat sebagai raja. Sementara dia sendiri kembali
lagi ke Jawa dan menyuruh dua anaknya untuk memerintah di Kerajaan Bima.Oleh
karena itu, sebagian bahasa Jawa Kuno kadang-kadang masih digunakan sebagai
bahasa halus di Bima.
Nama Bima sendiri sebenarnya adalah sebutan
dalam bahasa Indonesia, sementara orang Bima sendiri menyebutnya Mbojo. Saat
menggunakan bahasa Indonesia untuk merujuk “Bima”, yang digunakan tetap harus
mengucapkan kata “Bima”. Tetapi bila menggunakan bahasa daerah Bima untuk
merujuk ”Bima”, kata yang digunakan secara tepat adalah “Mbojo”. Mbojo ini
merupakan salah satu suku Bima karena dalam suku Bima sendiri ada dua suku,
yakni suku Donggo dan suku Mbojo.Suku Donggo atau orang Donggo dianggap sebagai
orang pertama yang telah mendiami wilayah Bima.
Mbojo memiliki semboyan yang dikenal dengan
sebutan “Maja Labo Dahu”. Setiap aturan yang berdasarkan budaya ataupun hasil
karya manusia adalah tidak akan pernah lepas dari aturan tuhan, mulai dari
undang-undang Negara sampai pada tataran kebudayaan seperti yang dimilki oleh
Bima itu sendiri. Kata Maja berarti Malu, Labo berarti dan serta Dahu berarti
Takut. Jika kita meninjau kata di atas secara semantik atau maknawi, Maja (malu)
bermaknakan bahwa orang ataupun masyarakat Bima akan malu ketika melakukan
sesuatu diluar daripada koridor tuhan, apakah itu kejahatan, perbuatan dosa dan
lain sebagainya baik yang berhubungan dengan manusia ataupun terhadap tuhannya.
Dahu (takut), hampir memilki proses interpretasi yang sama dengan kata Malu
tersebut. Sama-sama takut ketika melakukan sesuatu kejahatan ataupun keburukan.
Sebagai tambahan bahwa, orang Bima akan malu dan takut pulang ke kampung
halaman mereka ketika mereka belum berhasil di tanah rantauan.
Dou Mbojo yang dikenal sekarang ini awalnya
merupakan para pendatang yang berasal dari daerah-daerah sekitarnya seperti
Makassar, Bugis, dengan mendiami daerah-daerah pesisir Bima. Mereka umumnya
berbaur dengan masyarakat asli dan bahkan menikahi wanita-wanitanya.
Para pendatang ini datang pada sekitar abad
XIV, baik yang datang karena faktor ekonomi seperti berdagang maupun untuk
menyiarkan agama sebagai mubaliqh. Mata pencaharian mereka cukup berfariasi
seperti halnya bertani, berdagang, nelayan/pelaut dan sebagian lagi sebagai
pejabat dan pegawai pemerintah. Karena pada awalanya mereka adalah pendatang,
pada beberapa generasi kemudian banyak juga yang merantau ke luar daerah untuk
berbagai keperluan dan profesi seperti sebagai pegawai daerah, sekolah/kuliah,
menjadi polisi/tentara, pedagang dan lain-lain.
Umumnya mereka memiliki sifat ulet, mudah
menyesuaikan diri dengan orang lain dan bahkan kasar. Hingga kini, beberapa
daerah di Bima mewarisi sifat-sifat kasar ini seperti beberapa daerah (desa) di
Kecamatan Sape, Wera dan Belo. Orang Arab dan Melayu Orang Melayu umumnya
berasal dari Minangkabau dan daerah-daerah lain di Sumatera, baik sebagai
pedagang maupun sebagai mubaliqh. Jumlah mereka termasuk minoritas, yang pada
awalnya menempati daerah Bima pesisir Teluk Bima, Kampung Melayu dan Benteng.
Terdorong oleh arus mobilitas penduduk yang
cukup cepat, sekarang sebagian besar mereka telah membaur ke wilayah-wilayah
pedalaman bersama masyarakat Bima lainnya. Orang Arab pun datang ke Bima sebagai
pedagang dan mubaliqh. Awal kedatangan orang Arab umumnya sangat tertekan
karena harus berhadapan dengan masyarakat Bima yang sudah cukup variatif.
Mereka dianggap sebagai pendatang dari Arab, sebagai turunan Nabi. Akan tetapi,
sekarang mereka telah diterima secara umum dan wajar, serta telah berbaur
dengan masyarakat. Bahkan seiring dengan kuatnya pengaruh Islam melalui
Hadirnya Kesultanan Bima, termasuk orang Melayu, sering dianggap istimewa
karena biasanya pada masa Kesultanan Bima mereka diangkat sebagai Da’I dan
pejabat hadat di seluruh pelosok tanah Bima.
Pendatang Lainnya Para pendatang ini datang
dengan latar belakang yang beragam, dengan menduduki berbagai profesi baik
sebagai pejabat pemerintah, polisi/tentara, pedagang/pengusaha. Mereka datang
dari Jawa, Madura, Ambon, Flores, Timor-Timur, Banjar, Bugis, Bali, Lombok yang
kemudian membaur dan menikah dengan masyarakat Bima asli maupun dengan para
pendatang lain.
Secara umum kebudayaan keluarga suku Mbojo
yang tinggal di mataram tetap dipertahankan seperti Wa,a co’i, kapanca, nuzu
bulan, akikah, khitan, compo sampari, compo baju, sunatan, do’a rasu,
silaturrahmi dan mbolo weki.
Makanan yang dihidangkan dalam acara sunatan dan resepsi
pernikahan dikombinasi antara makan khas lombok dan khas bima seperti gule
daging, sate, acar, palumara (singang), urap, dan saronco hi’i. Sedangkan
budaya seperti doa rasu, silaturahmi dan nuzul bulan tetap mempertahankan
makanan khas bima.
Suku Mbojo berbagai macam upacara adat dan tradisi yang
dilakukan pada saat hari – hari tertentu, antara lain :
1. Wa’a coi
Wa’a coi maksudnya adalah upacara menghantar
mahar atau mas kawin, dari keluarga pria kepada keluarga sang gadis. Dengan
adanya uacara ini, berarti beberapa hari lagi kedua remaja tadi akan segera
dinikahkan. Banyaknya barang dan besarnya nilai mahar, tergantung hasil mufakat
antara kedua orang tua remaja tersebut. Pada umumnya mahar berupa rumah,
perabotan rumah tangga, perlengkapan tidur dan sebagainya. Tapi semuanya itu
harus dijelaskan berapa nilai nominalnya.
Upacara mengantar mahar ini biasanya dihadiri
dan disaksikan oleh seluruh anggota masyarakat di sekitarnya. Digelar pula
arak-arakan yang meriah dari rumah orang tua sang pria menuju rumah orang tua
perempuan. Semua perlengkapan mahar dan kebutuhan lain untuk upacara pernikahan
seperti beras, kayu api, hewan ternak, jajan dan sebagainya ikut dibawa.
2. Kapanca
Upacara
Peta Kapanca adalah salah satu bagian dari prosesi perkawinan Adat Bima.
Biasanya upacara ini dilaksanakan sehari sebelum dilaksanakan Akad Nikah dan
Resepsi perkawinan. Peta Kapanca adalah melumatkan Daun pacar(Inai) pada kuku
calon pengantin wanita yang dilakukan secara bergantian oleh ibu-ibu dan tamu
undangan yang semuanya adalah kaum wanita.
Makna dari upacara Kapanca ini merupakan
peringatan bagi calon pengantin wanita bahwa dalam waktu yang tidak lama lagi
akan melakukan tugas dan fungsi sebagai ibu rumah tangga atau istri. Disamping
itu, Kapanca dimaksudkan untuk memberi contoh kepada para gadis lainnya agar
mengikuti jejak calon penganten wanita yang sedang mempersiapkan diri untuk
menjadi seorang ratu yang akan mengakhiri masa lajangnya sehingga mereka dapat
mengambil hikmah.
3. Nuzul Bulan
Nuzul Bulan adalah suatu acara yang dilaksanakan
pada usia kehamilan 7 bulan yang bertujuan untuk keselamatan dengan harapan
bayi yang dikandung lahir sehat. Prosesi acara ini melibatkan sesepuh yang
telah lama tinggal di mataram. Makanan yang dihidangkan dalam acara ini adalah
pisang ambon, oha mina serta karaba, pangaha bunga, bolu dan mangonco (rujak).
Rujak yang dibuat oleh pihak acara diberikan kepada para undangan. Menurut
kepercayaan masyarakat suku Mbojo, jika rujak yang diberikan rasanya pedas maka
anak yang dikandung adalah anak laki-laki. Sedangka jika rujak yang diberikan
rasanya manis maka anak yang dikandung adalah anak perempuan.
4. Khitan
Upacara khitanan dalam adat Mbojo disebut
upacara suna ro ndoso (Suna = sunat. Ndoso = memotong atau meratakan gigi
secara simbolis sebelum sunat). Biasanya upacara suna ro ndoso dilakukan ketika
anak berumur lima sampai tujuh tahun. Bagi anak perempuan antara dua sampai
dengan empat tahun. Upacara khitan bagi anak laki-laki disebut suna. Sedangkan
bagi puteri disebut”sa ra so”. Sebelum di khitan terlebih dahulu akan di
lakukan compo sampari dan compo baju pada anak laki – laki dan perempuan. Dalam
acara khitan serta compo sampari dan compo baju terdapat makanan yang sering
disajikan seperti : uta janga puru (ayam bakar), sia dungga, uta mbeca ro,o
parongge,oha mina, kalo.
5. Compo sampari
Upacara compo Sampari atau pemasangan keris(
memakaikan keris) kepada anak laki – laki yang akan di Suna Ro Ndoso. Dilakukan
oleh seorang tokoh adat, diawali dengan pembacaan do’a disusul dengan membaca shalawat
Nabi. Upacara ini digelar sebagai peringatan bahwa sebagai anak laki – laki harus memiliki
kekuatan dan keberanian yang dilambangkan dengan sampari (keris).
6. Compo baju
Upacara compo baju yaitu upacara pemasangan
baju kepada anak perempuan yang akan di saraso ro ndoso. Baju yang akan
dipasang sebanyak 7 lembar baju poro(Baju pendek) yang dilakukan secara
bergilir oleh para tokoh adat dari kaum ibu. Makna compo baju adalah merupakan
peringatan bagi anak, kalau sudah di saraso berarti sudah dewasa. Sebab itu
harus menutup aurat dengan rapi. Tujuh lembar baju adalah tujuh simbol tahapan kehidupan yang
dijalani manusia yaitu masa dalam kandungan, masa bayi, masa kanak – kanak,
masa dewasa, masa tua, alam kubur dan alam baqa(akherat).
7. Doa rasu
Doa rasu adalah suatu kebiasaan berdoa pada
hari jum’at yang dilaksanakan pada pagi hari, dimana maksud acara ini sebagai
ungkapan rasa syukur dan sebagai tola bala agar keluarga tersebut terhindar
dari bencana dan mala petaka. Biasanya anak-anak dikumpulkan setelah sholat
subuh atau sebelum matahari terbit dan diberikan makan berupa karedo (bubur)
yang diletakan di atas nare yang dialasi daun pisang. Tempat makan diadakan doa
rasu tergantung pada tujuan yang membuat acara seperti di depan pintu bertujuan
untuk memurahkan rejeki.
8. Silaturahmi
Silaturrahmi adalah suatu kebiasaan suku
Mbojo mengunjungi keluarga atau kerabat untuk mempererat tali persaudaraan.
Bagi masyarakat suku Mbojo mengadakan silaturahmi berupa acara arisan, dimana
masyarakat suku Mbojo menyempatkan diri berkumpul ditengah kesibukan mereka
masing-masing dan dengan arisan itu mereka saling mengenal sehingga ikatan
persaudaraan mereka lebih erat. Pada acara ini makanan yang dihidangkan adalah
makanan khas bima yang dibuat oleh tuan rumah.
9. Mbolo weki
Mbolo weki adalah upacara musyawarah dan
mufakat seluruh keluarga maupun handai taulan dalam masyarakat untuk
merundingkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan hajatan/rencana
perkawinan yang akan dilaksanakan. Dalam tradisi khitanan juga demikian.
Hal-hal yang dimufakatkan dalam acara mbolo weki meliputi penentuan hari baik,
bulan baik untuk melaksanakan hajatan tersebut serta pembagian tugas kepada
keluarga dan handai taulan. Bila ada hajatan pernikahan, masyarakat dengan
sendirinya bergotong royong membantu keluarga melaksanakan hajatan. Bantuan
berupa uang, hewan ternak, padi/beras dan lainnya. Dalam acara mbolo weki ini
biasanya di sajikan beberapa macam jajanan seperti bolu, dadar, pisang, binka
dolu.
C.
Kepercayaan
Masyarakat Suku Mbojo
Beberapa kepercayaan-kepercayaan rakyat yang
juga masih melekat di jiwa rakyat Bima/Dompu yang masih dipercayai kekuatan
mistisnya dan dipertahankan sekarang yaitu antara lain:
1. Adanya larangan bagi istri ataupun anak duduk
di depan pintu atau tangga (bagi yang
berumah panggung)
Pada saat suami atau orang tua dari anak-anak
itu pergi bekerja atau mencari nafkah untuk keluarga. Kepercayaan atau tradisi
ini masih melekat dan menjadi tantangan bagi masyarakat Bima dan dompu pada umumnya
yang ada di pedalaman dan masih mempercayai akan kekuatan hal ini.
Hal ini dilakukan dan masih menjadi
kepercayaan rakyat setempat karena dipercayai rezeki atau suatu keberuntungan
yang akan dicapai akan berkurang atau terhalang dan mungkin sama sekali tidak
bisa didapatkan oleh sang suami. Hal ini harus dipatuhi dan dijalankan oleh
seorang istri ataupun anaknya yang berada di rumah baik pada pagi hari, siang
hari, maupun malam hari.
Dan tanggapan dari masyarakat sendiripun
membenarkan dan mempercayai akan adanya hal itu, karena bisa mengurangi dan
menghalangi rezeki yang akan masuk ke rumah.
2. Tradisi atau
kepercayaan membakar kemenyan (dupah) untuk roh/arwah nenek moyang.
Kepercayaan ini biasanya dilakukan oleh para
petani menjelang musim tanam dan panen padi atau kedelai yang diletakkan dan
dilakukan di sudut sawah/ladang pada waktu sore hari. Dengan alasan agar
tanaman yang ditanam nantinya bisa terbebas dari hama penyakit, dan serangan
cuaca yang tidak menentu sehingga hasil panen nantinya bisa berlimpah ruah dan
hasilnya banyak.
Kepercayaan membakar dupah ini banyak
dilakukan oleh para petani di daerah-daerah pinngiran dan pelosok Bima dan
Dompu. Tujuannya juga sama seperti apa yang Sudah dipaparka di awal tadi.
Tanggapan dari masyarakat sekitar sendiripun mempercayai hal tersebut karena
memang sudah terjadi dan bisa dirasakan sendiri hasilnya.
3. Kepercayaan Toho
ra Dore (pemujaan/penyerahan sesajian)
Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas
tadi bahwa kepercayaan masyarakat sekarang tidak berbeda jauh dengan masyarakat
yang dahulu. Dimana rakyat melakukan pemujaan-pemujaan kepada roh-roh nenek
moyang yang bisa dipercayai dapat membawa keberkahan.
Kepercayaan Toho ra Dore ini dilakukan untuk
meminta bantuan kepada roh-roh dalam rangka meminta kekayaan/keberlimpahan
harta (Bima: raho ntau ra wara) dan juga untuk meminta kesembuhan dari penyakit
yang ada di tubuh. Hal ini terus dilakukan dan dipercayai dapat merubah
kehidupan bagi yang melaksanakannya, karena konon pada zaman dahulu rakyat Bima/Dompu
sering melakukannya dan selalu mendapatkan dari apa yang diminta, meskipun
sekarang juga masyarakat bima sebagian telah meninggalkan namun masih ada juga
yang mempercayainya.
Penyerahan sesajian ini tidak terbatas
waktunya dan bisa dilakukan pada saat seseorang butuh baik pada pagi hari
maupun malam hari, tetapi lebih diutamakan pada hari jumat.
4. Kepercayaan
membakar sampah di depan rumah atau menabur garam dan beras kuning di depan
rumah.
Kepercayaan membakar sampah ini diyakini oleh
masyarakat Bima/Dompu bisa menghalangi masuknya kekuatan gaib atau kekuatan
jahat yang akan masuk ke rumah orang tersebut. Kegiatan/kepercayaan ini
dilakukan setiap kamis sore/malam jumat di depan rumah. Kepercayaan ini masih
seutuhnya diyakini oleh masyarakat sekitar yang meyakini akan benarnya hal itu.
Menabur garam atau beras kuning di depan
rumah dilakukan dengan tujuan agar terhindar dari datangnya fitnah dan bala
bahaya bagi penghuni rumah. Hal ini dilakukan setiap kali ada orang yang
datang/masuk ke rumah tersebut yang diyakini memiliki sifat buruk atau niat
jahat terhadap penghuni rumah. Penaburan ini sendiri dilakukan sesaat setelah
orang yang diyakini membawa fitnah tadi pergi dan meninggalkan rumah tersebut.
Masyarakat Bima/Dompu masih memegang dan
melakukan kepercayaan tersebut, karena memang memiliki dampak yang diakui bisa
terhindar dari kekuatan gaib dan datangnya fitnah yang akan dating dan masuk ke
rumah itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar