Indonesian Local Belief
- Beranda
- Profil Blogger
- 3 Suku Blog
- Lokal Wisdom
- Lokal Wisdom Madura Swandi
- Local Wisdom Qonita
- Local Wisdom Zizi Mubarok
- Local Wisdom Zikri Sulthoni
- Lokal Wisdom Siti Mahfudzoh
- Local Wisdom Teti Eliza
- Local Wisdom Salwa Anwar
- Local Wisdom Nur Afifah
- Local Wisdom Afrida Purwanti
- Local Wisdom Dewi Purnamasari
- Local Wisdom Muhammad Firman H.
- Local Wisdom Firda Devi R.
- Local Wisdom Ridwan Effendi
- Local Wisdom Chairul Anam
- Local Wisdom Endik Sudikna
- Local Wisdom Dewi Nursalina
- Local Wisdom Siti Syifa F.
- Local Wisdom Binna Ridhatus S
- Local Wisdom Renaldo Chaniago
- Local Wisdom Wahyu Vebry. P
- Local Wsidom Muhammad Samthoni
- Agama Lokal
- Islam Wetu Tellu
- Agama Tradisional Orang Tengger
- AGAMA LOKAL ORANG TORAJA
- Agama Lokal Suku Naulu
- Agama Lokal Orang Samin
- Agama Tradisional Suku Sunda
- AGAMA TRADISIONAL SUKU BATAK
- Agama Tradisional Orang Jawa
- AGAMA TERADISIONAL ORANG SAKAI
- Agama Suku Flores
- Agama Tradisional Orang Dayak
- Agama Tradisional Orang Trunyan di Bali
- Agama Lokal Masyarakat Nias
- Video
- E-Book/Jurnal
Kamis, 16 Juni 2016
Lokal Wisdom Rahmat Fajri
TRADISI
SUNATAN MENURUT MASYARAKAT RAWA BEBEK, BEKASI BARAT
Oleh: Rahmat Fajri Al-Aziz (NIM:
11140321000017)
Sunatan, adalah sebuah tradisi turun
temurun sejak nabi ibrahim as. Dan prosesi sunatan dari masa ke masa, dari
tiap-tiap daerah berbeda. Salah satunya adalah prosesi sunatan yang ada di
daerah rawa bebek, bekasi barat. Menurut masyarakat setempat, prosesi sunatan
di daerah ini sangat berbeda dengan prosesi sunatan yang ada di jawa tengah
misalnya. Berdasarkan narasumber[1]
yang sudah penulis wawancarai, ada 3 tahapan dalam prosesi sunatan.
a. Pra
Sunatan
Pra sunatan ini
biasanya anak yang mau di sunat diajak oleh keluarganya untuk mengunjungi makam
nenek moyangnya, dengan tujuan meminta doa restu terhadap roh nenek moyang yang
sudah tiada. Karena keyakinan masyarakat
setempat bahwa mengunjungi makam nenek moyang dipercaya membuat si anak yang
mau di sunat bisa lebih dewasa (tidak cengeng lagi). Setelah itu, tepatnya malam hari setelah
kunjungan dari makam nenek moyang, keluarga yang punya hajat sunatan mengadakan
apa yang biasa disebut masyarakat setempat sebagai selametan. Slametan ini biasanya diadakan dirumah keluarga, dan
dihadiri oleh tetangga-tetangga rumah, yang dipimpin oleh sesepuh setempat
(kyai), dan bersama-sama membaca bacaan tahlil, yasin dan doa oleh kyai. Slametan ini bertujuan untuk mendoakan
anak yang disunat agar menjadi anak yang soleh dan taat terhadap agama, bangsa,
negara dan khususnya kedua orang tua. Diwaktu lain, bebarengan dengan
selametan, salah seorang dari keluarga yang punya hajat sunatan, menaruh
(sesajen), biasanya berisi ikan gabus[2],
ayam, rokok, buah-buahan, susu, ddl. Yang disuguhkan kepada nenek moyang
keluaraga.
b. Proses
Sunatan
Proses sunatan ini
diawali dengan anak yang mau di sunat terlebih dahulu dimandikan kembang bekas
suguhan,dengan tujuan agar si anak wangi,
supaya nenek moyang mendampingi proses sunatan si anak. Setelah mandi
kembang dan wangi, si anak akan dibawa ke dokter untuk di sunat. Sebelum
disunat, si anak disuruh melakukan ijab qobul dengan sang dokter. Baru setelah
itu, sang anak disunat dengan terlebih dahulu dokter membaca beberapa doa.
c. Pasca
Sunat
Setelah anak selesai disunat oleh dokter
dan sesampainya dirumah, sang anak disuguhkan ayam bekakak.[3]
Supaya sakit yang di derita sang anak ketika disunat berpindah ke ayam bekakak.
Rabu, 15 Juni 2016
E-Book/Jurnal suku Mbojo
Berisi tentang keadaan alam, Demografi, tabel variasi jumlah anggota suku bangsa, latar belakang sejarah, mata pencaharian, pola perkampungan, dan pakaian adat.
Pendidikan karakter berbasis budaya lokal pada masyarakat muslim, keberlangsungan pendidikan, nilai-nilai budaya lokal, pelaksanaan pendidikan karakter berbasis budaya lokal, kegiatan ekstrakurikuler di salah satu sekolah di Bima.
Penggunaan bahasa Mbojo berdasarkan usia (Pn-Mt yang usianya sebaya, Pn tua – Mt muda, Pn muda – Mt tua), Penggunaan bahasa Mbojo berdasarkan jenis kelamin (Pn laki-laki Mt laki-laki, Pn laki-laki Mt perempuan, Pn perempuan Mt laki-laki, Pn perempuan Mt perempuan), Penggunaan bahasa Mbojo berdasarkan kedudukan/jabatan (Pn atasan Mt bawahan, Pn-Mt yang kedudukannya setara, Pn bawahan Mt atasan).
E-Book/Jurnal Suku Banjar
Alasan ibu bersalin suku Banjar lebih memilih bidan kampung dari pada bidan dalam menolong persalinan, penolong persalinan, pandangan terhadap kehamilan dan persalinan, bidan kampung sebagai penolong persalinan, pandangan terhadap bidan kampung dalam menolong persalinan, antara tradisi dan relasi
Geografi, sejarah, populasi penduduk, bentuk rumah
adat, kesenian khas daerah dan kekayaan alam yang terkandung.
Jejak hubungan arsitektur tradisional suku Banjar dengan
suku Bakumpai, suku Bakumpai, analis kesejarahan, tabel perbandingan arsitektur
suku banjar dengan suku Bakumpai, Kronologis sejarah kerajaan Banjar.
Perbedaan kepuasan perkawinan pada wanita suku
Bugis, Jawa, dan Banjar di Balikpapan, perbandingan diantara ketiga suku
tersebut, hasil penelitian berdasarkan fakta dan data dan diakhiri dengan
kesimpulan dari penelitian tersebut.
Kamis, 09 Juni 2016
Video Suku Mbojo
Si
Bolang 19 maret 2015 - Laskar Penjaga Tradisi Suku Mbojo
Membahas tentang bahan untuk mengobati sakit
karena digigit semut, untuk membuat sampo, untuk sabunan, untuk membuat rumah
lengge atau rumah tempat hasil panen seperti biji-bijian, padi dan sebagainya
yang dapat disimpan sampai bertahun-tahun lamanya. Semua dibuat dari bahan-bahan yang telah
tersedia di alam yang harus dipakai dengan secukupnya saja untuk menjaga
kelestariannya. Tradisi lain yaitu
memelihara rambut panjang bagi anak perempuan.
POTRET DAERAH
BIMA ( MBOJO ) NTB- INDONESIA BAG 01
Membahas
tentang problematika kemiskinan rakyat bima, terutama mengenai sangat kurangnya
sumber air bersih di daerah tersebut, juga jarak tempuh untuk mencapai sumber
air yang terlampau jauh dan harus mengantri. Di samping itu, peralatan
tradisional yang masih digunakan dalam mendapatkan seliter air bersih. Belum
lagi terbatasnya jumlah lapangan pekerjaan yang sangat memprihatinkan sehingga
menambah factor kemiskinan di daerah ini. Padahal sumber daya alam yang
melimpah dan tidak dikelelola dengan baik yang menjadi salah satu factor terbelakangnnya
masyarakat Bima.
Suku Mbajo Tari
Rimpu
Rimpu merupakan Salah satu budaya dalam dimensi busana
pada masyarakat Bima (Dou Mbojo). budaya ”rimpu” yang telah hidup dan
berkembang sejak masyarakat Bima itu ada. Rimpu merupakan cara berbusana yang
mengandung nilai-nilai khas yang sejalan dengan kondisi daerah yang bernuansa
Islam (Kesultanan atau Kerajaan Islam). Rimpu adalah cara berbusana masyarakat Bima yang
menggunakan sarung khas Bima. Rimpu merupakan rangkaian pakaian yang
menggunakan dua lembar (dua ndo`o) sarung. Kedua sarung tersebut untuk bagian
bawah dan bagian atas. Rimpu ini adalah pakaian yang diperuntukkan bagi kaum
perempuan, sedangkan kaum lelakinya tidak memakai rimpu tetapi ”katente”
(menggulungkan sarung di pinggang). Sarung yang dipakai ini dalam kalangan
masyarakat Bima dikenal sebagai Tembe Nggoli (Sarung Songket). Kafa Mpida
(Benang Kapas) yang dipintal sendiri melalui tenunan khas Bima yang dikenal
dengan Muna. Sementara sarung songket memiliki beberapa motif yang indah.
Motif-motif sarung songket tersebut meliputi nggusu waru (bunga bersudut
delapan), weri (bersudut empat mirip kue wajik), wunta cengke (bunga cengkeh),
kakando (rebung), bunga satako (bunga setangkai), sarung nggoli (yang bahan
bakunya memakai benang rayon).
Profil Suku Mbojo
A.
Sejarah Suku Mbojo
Sumber: raried22.wordpress.com
|
Sumber: Mukhtar-api.blogspot.com |
Legenda tersebut tertulis dalam Kibat Bo’.
Ceritanya berawal dari kedatangan seorang pengembara dari Jawa yang bernama
Bima tadi.Bima merupakan seorang Pandawa Lima yang melarikan diri ke Bima pada
masa pemberontakan di Majapahit.Dia melarikan diri melalui jalur selatan agar
tidak diketahui oleh para pemberontak, lalu berlabuh di Pulau Satonda.
Bima menikah dengan salah seorang putri di
wilayah tersebut, dan memiliki anak. Bima memiliki karakter yang kasar dan
keras, tapi teguh dalam pendirian serta tidak mudah mencurigai orang lain.
Lalu, para Ncuhi mengangkat Bima menjadi Raja pertama wilayah tersebut yang
kemudian menjadi daerah yang bernama Bima.Sang Bima dianggap sebagai raja Bima
pertamanya.
Hanya saja, Sang Bima meminta kepada para
Ncuhi supaya anaknya yang diangkat sebagai raja. Sementara dia sendiri kembali
lagi ke Jawa dan menyuruh dua anaknya untuk memerintah di Kerajaan Bima.Oleh
karena itu, sebagian bahasa Jawa Kuno kadang-kadang masih digunakan sebagai
bahasa halus di Bima.
Nama Bima sendiri sebenarnya adalah sebutan
dalam bahasa Indonesia, sementara orang Bima sendiri menyebutnya Mbojo. Saat
menggunakan bahasa Indonesia untuk merujuk “Bima”, yang digunakan tetap harus
mengucapkan kata “Bima”. Tetapi bila menggunakan bahasa daerah Bima untuk
merujuk ”Bima”, kata yang digunakan secara tepat adalah “Mbojo”. Mbojo ini
merupakan salah satu suku Bima karena dalam suku Bima sendiri ada dua suku,
yakni suku Donggo dan suku Mbojo.Suku Donggo atau orang Donggo dianggap sebagai
orang pertama yang telah mendiami wilayah Bima.
Mbojo memiliki semboyan yang dikenal dengan
sebutan “Maja Labo Dahu”. Setiap aturan yang berdasarkan budaya ataupun hasil
karya manusia adalah tidak akan pernah lepas dari aturan tuhan, mulai dari
undang-undang Negara sampai pada tataran kebudayaan seperti yang dimilki oleh
Bima itu sendiri. Kata Maja berarti Malu, Labo berarti dan serta Dahu berarti
Takut. Jika kita meninjau kata di atas secara semantik atau maknawi, Maja (malu)
bermaknakan bahwa orang ataupun masyarakat Bima akan malu ketika melakukan
sesuatu diluar daripada koridor tuhan, apakah itu kejahatan, perbuatan dosa dan
lain sebagainya baik yang berhubungan dengan manusia ataupun terhadap tuhannya.
Dahu (takut), hampir memilki proses interpretasi yang sama dengan kata Malu
tersebut. Sama-sama takut ketika melakukan sesuatu kejahatan ataupun keburukan.
Sebagai tambahan bahwa, orang Bima akan malu dan takut pulang ke kampung
halaman mereka ketika mereka belum berhasil di tanah rantauan.
Dou Mbojo yang dikenal sekarang ini awalnya
merupakan para pendatang yang berasal dari daerah-daerah sekitarnya seperti
Makassar, Bugis, dengan mendiami daerah-daerah pesisir Bima. Mereka umumnya
berbaur dengan masyarakat asli dan bahkan menikahi wanita-wanitanya.
Para pendatang ini datang pada sekitar abad
XIV, baik yang datang karena faktor ekonomi seperti berdagang maupun untuk
menyiarkan agama sebagai mubaliqh. Mata pencaharian mereka cukup berfariasi
seperti halnya bertani, berdagang, nelayan/pelaut dan sebagian lagi sebagai
pejabat dan pegawai pemerintah. Karena pada awalanya mereka adalah pendatang,
pada beberapa generasi kemudian banyak juga yang merantau ke luar daerah untuk
berbagai keperluan dan profesi seperti sebagai pegawai daerah, sekolah/kuliah,
menjadi polisi/tentara, pedagang dan lain-lain.
Umumnya mereka memiliki sifat ulet, mudah
menyesuaikan diri dengan orang lain dan bahkan kasar. Hingga kini, beberapa
daerah di Bima mewarisi sifat-sifat kasar ini seperti beberapa daerah (desa) di
Kecamatan Sape, Wera dan Belo. Orang Arab dan Melayu Orang Melayu umumnya
berasal dari Minangkabau dan daerah-daerah lain di Sumatera, baik sebagai
pedagang maupun sebagai mubaliqh. Jumlah mereka termasuk minoritas, yang pada
awalnya menempati daerah Bima pesisir Teluk Bima, Kampung Melayu dan Benteng.
Terdorong oleh arus mobilitas penduduk yang
cukup cepat, sekarang sebagian besar mereka telah membaur ke wilayah-wilayah
pedalaman bersama masyarakat Bima lainnya. Orang Arab pun datang ke Bima sebagai
pedagang dan mubaliqh. Awal kedatangan orang Arab umumnya sangat tertekan
karena harus berhadapan dengan masyarakat Bima yang sudah cukup variatif.
Mereka dianggap sebagai pendatang dari Arab, sebagai turunan Nabi. Akan tetapi,
sekarang mereka telah diterima secara umum dan wajar, serta telah berbaur
dengan masyarakat. Bahkan seiring dengan kuatnya pengaruh Islam melalui
Hadirnya Kesultanan Bima, termasuk orang Melayu, sering dianggap istimewa
karena biasanya pada masa Kesultanan Bima mereka diangkat sebagai Da’I dan
pejabat hadat di seluruh pelosok tanah Bima.
Pendatang Lainnya Para pendatang ini datang
dengan latar belakang yang beragam, dengan menduduki berbagai profesi baik
sebagai pejabat pemerintah, polisi/tentara, pedagang/pengusaha. Mereka datang
dari Jawa, Madura, Ambon, Flores, Timor-Timur, Banjar, Bugis, Bali, Lombok yang
kemudian membaur dan menikah dengan masyarakat Bima asli maupun dengan para
pendatang lain.
Secara umum kebudayaan keluarga suku Mbojo
yang tinggal di mataram tetap dipertahankan seperti Wa,a co’i, kapanca, nuzu
bulan, akikah, khitan, compo sampari, compo baju, sunatan, do’a rasu,
silaturrahmi dan mbolo weki.
Makanan yang dihidangkan dalam acara sunatan dan resepsi
pernikahan dikombinasi antara makan khas lombok dan khas bima seperti gule
daging, sate, acar, palumara (singang), urap, dan saronco hi’i. Sedangkan
budaya seperti doa rasu, silaturahmi dan nuzul bulan tetap mempertahankan
makanan khas bima.
Suku Mbojo berbagai macam upacara adat dan tradisi yang
dilakukan pada saat hari – hari tertentu, antara lain :
1. Wa’a coi
Wa’a coi maksudnya adalah upacara menghantar
mahar atau mas kawin, dari keluarga pria kepada keluarga sang gadis. Dengan
adanya uacara ini, berarti beberapa hari lagi kedua remaja tadi akan segera
dinikahkan. Banyaknya barang dan besarnya nilai mahar, tergantung hasil mufakat
antara kedua orang tua remaja tersebut. Pada umumnya mahar berupa rumah,
perabotan rumah tangga, perlengkapan tidur dan sebagainya. Tapi semuanya itu
harus dijelaskan berapa nilai nominalnya.
Upacara mengantar mahar ini biasanya dihadiri
dan disaksikan oleh seluruh anggota masyarakat di sekitarnya. Digelar pula
arak-arakan yang meriah dari rumah orang tua sang pria menuju rumah orang tua
perempuan. Semua perlengkapan mahar dan kebutuhan lain untuk upacara pernikahan
seperti beras, kayu api, hewan ternak, jajan dan sebagainya ikut dibawa.
2. Kapanca
Upacara
Peta Kapanca adalah salah satu bagian dari prosesi perkawinan Adat Bima.
Biasanya upacara ini dilaksanakan sehari sebelum dilaksanakan Akad Nikah dan
Resepsi perkawinan. Peta Kapanca adalah melumatkan Daun pacar(Inai) pada kuku
calon pengantin wanita yang dilakukan secara bergantian oleh ibu-ibu dan tamu
undangan yang semuanya adalah kaum wanita.
Makna dari upacara Kapanca ini merupakan
peringatan bagi calon pengantin wanita bahwa dalam waktu yang tidak lama lagi
akan melakukan tugas dan fungsi sebagai ibu rumah tangga atau istri. Disamping
itu, Kapanca dimaksudkan untuk memberi contoh kepada para gadis lainnya agar
mengikuti jejak calon penganten wanita yang sedang mempersiapkan diri untuk
menjadi seorang ratu yang akan mengakhiri masa lajangnya sehingga mereka dapat
mengambil hikmah.
3. Nuzul Bulan
Nuzul Bulan adalah suatu acara yang dilaksanakan
pada usia kehamilan 7 bulan yang bertujuan untuk keselamatan dengan harapan
bayi yang dikandung lahir sehat. Prosesi acara ini melibatkan sesepuh yang
telah lama tinggal di mataram. Makanan yang dihidangkan dalam acara ini adalah
pisang ambon, oha mina serta karaba, pangaha bunga, bolu dan mangonco (rujak).
Rujak yang dibuat oleh pihak acara diberikan kepada para undangan. Menurut
kepercayaan masyarakat suku Mbojo, jika rujak yang diberikan rasanya pedas maka
anak yang dikandung adalah anak laki-laki. Sedangka jika rujak yang diberikan
rasanya manis maka anak yang dikandung adalah anak perempuan.
4. Khitan
Upacara khitanan dalam adat Mbojo disebut
upacara suna ro ndoso (Suna = sunat. Ndoso = memotong atau meratakan gigi
secara simbolis sebelum sunat). Biasanya upacara suna ro ndoso dilakukan ketika
anak berumur lima sampai tujuh tahun. Bagi anak perempuan antara dua sampai
dengan empat tahun. Upacara khitan bagi anak laki-laki disebut suna. Sedangkan
bagi puteri disebut”sa ra so”. Sebelum di khitan terlebih dahulu akan di
lakukan compo sampari dan compo baju pada anak laki – laki dan perempuan. Dalam
acara khitan serta compo sampari dan compo baju terdapat makanan yang sering
disajikan seperti : uta janga puru (ayam bakar), sia dungga, uta mbeca ro,o
parongge,oha mina, kalo.
5. Compo sampari
Upacara compo Sampari atau pemasangan keris(
memakaikan keris) kepada anak laki – laki yang akan di Suna Ro Ndoso. Dilakukan
oleh seorang tokoh adat, diawali dengan pembacaan do’a disusul dengan membaca shalawat
Nabi. Upacara ini digelar sebagai peringatan bahwa sebagai anak laki – laki harus memiliki
kekuatan dan keberanian yang dilambangkan dengan sampari (keris).
6. Compo baju
Upacara compo baju yaitu upacara pemasangan
baju kepada anak perempuan yang akan di saraso ro ndoso. Baju yang akan
dipasang sebanyak 7 lembar baju poro(Baju pendek) yang dilakukan secara
bergilir oleh para tokoh adat dari kaum ibu. Makna compo baju adalah merupakan
peringatan bagi anak, kalau sudah di saraso berarti sudah dewasa. Sebab itu
harus menutup aurat dengan rapi. Tujuh lembar baju adalah tujuh simbol tahapan kehidupan yang
dijalani manusia yaitu masa dalam kandungan, masa bayi, masa kanak – kanak,
masa dewasa, masa tua, alam kubur dan alam baqa(akherat).
7. Doa rasu
Doa rasu adalah suatu kebiasaan berdoa pada
hari jum’at yang dilaksanakan pada pagi hari, dimana maksud acara ini sebagai
ungkapan rasa syukur dan sebagai tola bala agar keluarga tersebut terhindar
dari bencana dan mala petaka. Biasanya anak-anak dikumpulkan setelah sholat
subuh atau sebelum matahari terbit dan diberikan makan berupa karedo (bubur)
yang diletakan di atas nare yang dialasi daun pisang. Tempat makan diadakan doa
rasu tergantung pada tujuan yang membuat acara seperti di depan pintu bertujuan
untuk memurahkan rejeki.
8. Silaturahmi
Silaturrahmi adalah suatu kebiasaan suku
Mbojo mengunjungi keluarga atau kerabat untuk mempererat tali persaudaraan.
Bagi masyarakat suku Mbojo mengadakan silaturahmi berupa acara arisan, dimana
masyarakat suku Mbojo menyempatkan diri berkumpul ditengah kesibukan mereka
masing-masing dan dengan arisan itu mereka saling mengenal sehingga ikatan
persaudaraan mereka lebih erat. Pada acara ini makanan yang dihidangkan adalah
makanan khas bima yang dibuat oleh tuan rumah.
9. Mbolo weki
Mbolo weki adalah upacara musyawarah dan
mufakat seluruh keluarga maupun handai taulan dalam masyarakat untuk
merundingkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan hajatan/rencana
perkawinan yang akan dilaksanakan. Dalam tradisi khitanan juga demikian.
Hal-hal yang dimufakatkan dalam acara mbolo weki meliputi penentuan hari baik,
bulan baik untuk melaksanakan hajatan tersebut serta pembagian tugas kepada
keluarga dan handai taulan. Bila ada hajatan pernikahan, masyarakat dengan
sendirinya bergotong royong membantu keluarga melaksanakan hajatan. Bantuan
berupa uang, hewan ternak, padi/beras dan lainnya. Dalam acara mbolo weki ini
biasanya di sajikan beberapa macam jajanan seperti bolu, dadar, pisang, binka
dolu.
C.
Kepercayaan
Masyarakat Suku Mbojo
Beberapa kepercayaan-kepercayaan rakyat yang
juga masih melekat di jiwa rakyat Bima/Dompu yang masih dipercayai kekuatan
mistisnya dan dipertahankan sekarang yaitu antara lain:
1. Adanya larangan bagi istri ataupun anak duduk
di depan pintu atau tangga (bagi yang
berumah panggung)
Pada saat suami atau orang tua dari anak-anak
itu pergi bekerja atau mencari nafkah untuk keluarga. Kepercayaan atau tradisi
ini masih melekat dan menjadi tantangan bagi masyarakat Bima dan dompu pada umumnya
yang ada di pedalaman dan masih mempercayai akan kekuatan hal ini.
Hal ini dilakukan dan masih menjadi
kepercayaan rakyat setempat karena dipercayai rezeki atau suatu keberuntungan
yang akan dicapai akan berkurang atau terhalang dan mungkin sama sekali tidak
bisa didapatkan oleh sang suami. Hal ini harus dipatuhi dan dijalankan oleh
seorang istri ataupun anaknya yang berada di rumah baik pada pagi hari, siang
hari, maupun malam hari.
Dan tanggapan dari masyarakat sendiripun
membenarkan dan mempercayai akan adanya hal itu, karena bisa mengurangi dan
menghalangi rezeki yang akan masuk ke rumah.
2. Tradisi atau
kepercayaan membakar kemenyan (dupah) untuk roh/arwah nenek moyang.
Kepercayaan ini biasanya dilakukan oleh para
petani menjelang musim tanam dan panen padi atau kedelai yang diletakkan dan
dilakukan di sudut sawah/ladang pada waktu sore hari. Dengan alasan agar
tanaman yang ditanam nantinya bisa terbebas dari hama penyakit, dan serangan
cuaca yang tidak menentu sehingga hasil panen nantinya bisa berlimpah ruah dan
hasilnya banyak.
Kepercayaan membakar dupah ini banyak
dilakukan oleh para petani di daerah-daerah pinngiran dan pelosok Bima dan
Dompu. Tujuannya juga sama seperti apa yang Sudah dipaparka di awal tadi.
Tanggapan dari masyarakat sekitar sendiripun mempercayai hal tersebut karena
memang sudah terjadi dan bisa dirasakan sendiri hasilnya.
3. Kepercayaan Toho
ra Dore (pemujaan/penyerahan sesajian)
Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas
tadi bahwa kepercayaan masyarakat sekarang tidak berbeda jauh dengan masyarakat
yang dahulu. Dimana rakyat melakukan pemujaan-pemujaan kepada roh-roh nenek
moyang yang bisa dipercayai dapat membawa keberkahan.
Kepercayaan Toho ra Dore ini dilakukan untuk
meminta bantuan kepada roh-roh dalam rangka meminta kekayaan/keberlimpahan
harta (Bima: raho ntau ra wara) dan juga untuk meminta kesembuhan dari penyakit
yang ada di tubuh. Hal ini terus dilakukan dan dipercayai dapat merubah
kehidupan bagi yang melaksanakannya, karena konon pada zaman dahulu rakyat Bima/Dompu
sering melakukannya dan selalu mendapatkan dari apa yang diminta, meskipun
sekarang juga masyarakat bima sebagian telah meninggalkan namun masih ada juga
yang mempercayainya.
Penyerahan sesajian ini tidak terbatas
waktunya dan bisa dilakukan pada saat seseorang butuh baik pada pagi hari
maupun malam hari, tetapi lebih diutamakan pada hari jumat.
4. Kepercayaan
membakar sampah di depan rumah atau menabur garam dan beras kuning di depan
rumah.
Kepercayaan membakar sampah ini diyakini oleh
masyarakat Bima/Dompu bisa menghalangi masuknya kekuatan gaib atau kekuatan
jahat yang akan masuk ke rumah orang tersebut. Kegiatan/kepercayaan ini
dilakukan setiap kamis sore/malam jumat di depan rumah. Kepercayaan ini masih
seutuhnya diyakini oleh masyarakat sekitar yang meyakini akan benarnya hal itu.
Menabur garam atau beras kuning di depan
rumah dilakukan dengan tujuan agar terhindar dari datangnya fitnah dan bala
bahaya bagi penghuni rumah. Hal ini dilakukan setiap kali ada orang yang
datang/masuk ke rumah tersebut yang diyakini memiliki sifat buruk atau niat
jahat terhadap penghuni rumah. Penaburan ini sendiri dilakukan sesaat setelah
orang yang diyakini membawa fitnah tadi pergi dan meninggalkan rumah tersebut.
Masyarakat Bima/Dompu masih memegang dan
melakukan kepercayaan tersebut, karena memang memiliki dampak yang diakui bisa
terhindar dari kekuatan gaib dan datangnya fitnah yang akan dating dan masuk ke
rumah itu.
Profil Suku Banjar
SUKU BANJAR
Oleh:
Qonita
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA
2016
Asal Usul Suku Banjar
Suku Bangsa Banjar adalah suku
bangsa yang menempati sebagian besar wilayah Provinsi Kalimantan Selatan,
sebagian Kalimantan Timur dan sebagian Kalimantan Tengah terutama kawasan
dataran dan bagian hilir dari Daerah Aliran Sungai (DAS) di wilayah tersebut.
Suku bangsa Banjar berasal dari daerah Banjaryaitu wilayah inti dari Kesultanan
Banjar meliputi DAS Barito bagian hilir, DAS Bahan (Negara), DAS Martapura dan
DAS Tabanio. Kesultanan Banjar sebelumnya meliputi wilayah provinsi Kalimantan
Selatan dan Kalimantan Tengah, kemudian terpecah disebelah barat menjadi
kerajaan Kotawaringin yang dipimpin Pangeran Dipati Anta Kasuma dan di sebelah
timur menjadi kerajaan Tanah Bumbu yang dipimpin Pangeran Dipati Tuha yang berkembang
menjadi beberapa daerah: Sabamban, Pegatan, Koensan, Poelau Laoet, Batoe
Litjin, Cangtoeng, Bangkalaan, Sampanahan, Manoenggoel, dan Tjingal. Wilayah
Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur merupakan tanah rantau primer, selanjutnya
dengan budaya madam, orang Banjar merantau hingga ke luar pulau. Menurut Alfani Daud (1997), suku bangsa Banjar adalah suku asli
sebagian besar wilayah Provinsi Kalimantan Selatan, kecuali di Kabupaten Kota
Baru.[1]
Suku Banjar merupakan salah satu suku yang mendiami
tanah Kalimantan terutama di daerah Kalimantan Selatan. Masyarakat dari suku
Banjar ini lebih dikenal dengan istilah Urang Banjar. Ideham (2003:72)
mengemukakan bahwa Urang Banjar pada awalnya merupakan suku yang
mendiami pesisir pantai di Kalimantan Selatan, Timur, dan Tengah. Pada masa
penjajahan Belanda, masyarakat setempat dikelompokkan menjadi dua kelompok
besar yakni yang Islam dan non Islam. Kelompok Islam diidentikkan sebagai suku
Melayu dan yang non islam adalah kelompok suku Dayak. Karena suku Banjar
merupakan salah satu suku dari rumpun Melayu, mereka dimasukkan dalam kelompok
Islam. Urang Banjar merupakan salah satu rumpun dari suku Melayu
memiliki kebudayaan tradisional yang terintegrasi dengan agama Islam.
Pelaksanaan ritual keagamaan dan tradisi dalam masyarakat dilakukan juga
sebagai upaya untuk menanamkan nilai keagamaan sejak dini kepada
generasi-generasi penerus dalam suku Banjar.[2]
Suku Banjar ialah penduduk
asli yang mendiami sebahagian besar wilayah Kalimantan Selatan. Mereka memiliki
kesamaan dengan penduduk Pulau Sumatera dan daerah sekitarnya. Mereka berpindah
ke kawasan ini lebih dari seribu tahun yang lalu. Setelah berlalu masa yang
lama, dan setelah bercampur dengan penduduk asal setempat yang biasanya
dinamakan secara umum sebagai suku Dayak, dan dengan imigran-imigran yang
datang kemudian, terbentuklah setidak-tidaknya tiga subsuku, iaitu Banjar
Pahuluan, Banjar Batang Banyu dan Banjar Kuala. Orang Pahuluan pada dasarnya
ialah penduduk yang mendiami lembah sungai yang berhulu di Pergunungan Meratus;
orang Batang Banyu mendiami lembah sungai Negara; sedangkan orang Banjar Kuala
mendiami daerah sekitar Banjarmasin dan Martapura.
Menurut Hikayat Banjar, dahulu kala
penduduk pribumi Kalimantan Selatan belum terikat dengan satu kekuatan politik
dan masing-masing puak masih menyebut dirinya berdasarkan asal Daerah Aliran
Sungai misalnya orang batang Alai, orang batang Amandit, orang batang Tabalong,
orang batang Balangan, orang batang Labuan Amas, dan sebagainya. Sebuah entitas
politik yang bernama Negara Dipa terbentuk yang mempersatukan puak-puak yang
mendiami semua daerah aliran sungai tersebut. Negara Dipa kemudian digantikan
oleh Negara Daha. Semua penduduk Kalsel saat itu merupakan warga Kerajaan
Negara Daha, sampai ketika seorang Pangeran dari Negara Daha mendirikan sebuah
kerajaan di muara Sungai Barito yaitu Kesultanan Banjar. Dari sanalah nama
Banjar berasal, yaitu dari nama Kampung Banjar yang terletak di muara Sungai
Kuin, di tepi kanan sungai Barito.
Mitologi suku Dayak Meratus (Suku
Bukit) menyatakan bahwa Suku Banjar (terutama Banjar Pahuluan) dan Suku Bukit
merupakan keturunan dari dua kakak beradik yaitu Si Ayuh/Datung
Ayuh/Dayuhan/Sandayuhan yang menurunkan suku Bukit dan Bambang Siwara/Bambang Basiwara
yang menurunkan suku Banjar.
Sesuai
dengan statusnya sebagai nenek-moyang atau cikal-bakal orang Dayak Maratus,
maka nama Sandayuhan sangat populer di kalangan orang Dayak Meratus. Banyak
sekali tempat-tempat di seantero pegunungan Meratus yang sejarah keberadaannya
diceritakan berasal-usul dari aksi heroik Sandayuhan. Salah satu di antaranya
adalah tebing batu berkepala tujuh, yang konon adalah penjelmaan dari
Samali’ing, setan berkepala tujuh yang berhasil dikalahkannya dalam suatu
kontak fisik yang sangat menentukan.
Suku bangsa
Banjar terbentuk dari suku-suku Bukit, Maanyan, Lawangan dan Ngaju yang
dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu yang berkembang sejak zaman Sriwijaya dan
kebudayaan Jawa pada zaman Majapahit, dipersatukan oleh kerajaan yang beragama
Buddha, Hindu dan terakhir Islam, dari kerajaan Banjar, sehingga menumbuhkan
suku bangsa Banjar yang berbahasa Banjar. Suku bangsa Banjar terbagi menjadi
tiga subsuku, yaitu :
1. (Banjar)
Pahuluan
Banjar Pahuluan pada asasnya adalah penduduk daerah lembah-lembah sungai
(cabang sungai Negara) yang berhulu ke pegunungan Meratus.
Sangat mungkin sekali pemeluk Islam sudah ada sebelumnya di sekitar keraton
yang dibangun di Banjarmasin, tetapi pengislaman secara massal diduga terjadi
setelah raja Pangeran Samudera yang kemudian dilantik menjadi Sultan
Suriansyah, memeluk Islam diikuti warga kerabatnya, yaitu bubuhan raja-raja.
Perilaku raja ini diikuti elit ibukota, masing-masing tentu menjumpai penduduk
pedalaman, yaitu Orang Bukit, yang dahulu diperkirakan mendiami lembah-lembah
sungai yang sama.
Untuk kepentingan keamanan, atau karena memang ada ikatan kekerabatan,
cikal bakal suku Banjar membentuk komplek pemukiman tersendiri. Komplek
pemukiman cikal bakal suku Banjar (Pahuluan) yang pertama ini merupakan komplek
pemukimanbubuhan, yang pada mulanya terdiri dari seorang tokoh yang berwibawa
sebagai kepalanya, dan warga kerabatnya, dan mungkin ditambah dengan
keluarga-keluarga lain yang bergabung dengannya. Model yang sama atau hampir
sama juga terdapat pada masyarakat balai di kalangan masyarakat orang Bukit,
yang pada asasnya masih berlaku sampai sekarang. Daerah lembah sungai-sungai
yang berhulu di Pegunungan Meratus ini nampaknya wilayah pemukiman pertama
masyarakat Banjar, dan di daerah inilah konsentrasi penduduk yang banyak sejak
zaman kuno, dan daerah inilah yang dinamakan Pahuluan. Apa yang dikemukakan di
atas menggambarkan terbentuknya masyarakat (Banjar) Pahuluan, yang tentu saja
dengan kemungkinan adanya unsur orang Bukit ikut membentuknya.
2.
(Banjar) Batang Banyu
Banjar Batang Banyu mendiami lembah sungai Negara. Masyarakat (Banjar)
Batang Banyu terbentuk diduga erat sekali berkaitan dengan terbentuknya pusat
kekuasaan yang meliputi seluruh wilayah Banjar, yang barangkali terbentuk mula
pertama di hulu sungai Negara atau cabangnya yaitu sungai Tabalong. Sebagai
warga yang berdiam di ibukota tentu merupakan kebanggaan tersendiri, sehingga
menjadi kelompok penduduk yang terpisah. Daerah tepi sungai Tabalong adalah
merupakan tempat tinggal tradisional dari Orang Maanyan (dan Orang Lawangan),
sehingga diduga banyak yang ikut serta membentuk subsuku Banjar Batang Banyu,
di samping tentu saja orang-orang asalPahuluan yang pindah ke sana dan para
pendatang yang datang dari luar. Bila di Pahuluan umumnya orang hidup dari
bertani (subsistens), maka banyak di antara penduduk Batang Banyu yang bermata
pencarian sebagai pedagang dan pengrajin.
3.
Banjar (Kuala)
Sedangkan
orang Banjar Kuala mendiami sekitar Banjarmasin dan Martapura.
Bahasa yang
mereka kembangkan dinamakan bahasa Banjar, yang terbagi ke dalam dua dialek
besar yaitu Banjar Hulu dan Banjar Kuala. Nama Banjar diperoleh karena mereka
dahulu (sebelum kesultanan Banjar dihapuskan pada tahun 1860) adalah warga
Kesultanan Banjarmasin atau disingkat Banjar, sesuai dengan nama ibukotanya
pada mula berdirinya. Ketika ibukota dipindahkan ke arah pedalaman (terakhir di
Martapura), nama tersebut nampaknya sudah baku atau tidak berubah lagi.
Ketika pusat kerajaan dipindahkan ke
Banjarmasin (terbentuknya Kesultanan Banjarmasin), sebagian warga Batang Banyu
(dibawa) pindah ke pusat kekuasaan yang baru ini dan bersama-sama dengan
penduduk sekitar keraton yang sudah ada sebelumnya, membentuk subsuku Banjar.
Di kawasan ini mereka berjumpa dengan orang Ngaju, yang seperti halnya dengan
masyarakat Bukit dan masyarakat Maanyan serta Lawangan, banyak di antara mereka
yang akhirnya melebur ke dalam masyarakat Banjar, setelah mereka memeluk agama
Islam. Mereka yang bertempat tinggal di sekitar ibukota kesultanan inilah
sebenarnya yang dinamakan atau menamakan dirinya orang Banjar, sedangkan
masyarakat Pahuluan dan masyarakat Batang Banyu biasa menyebut dirinya sebagai
orang (asal dari) kota-kota kuno yang terkemuka dahulu. Tetapi bila berada di
luar Tanah Banjar, mereka itu tanpa kecuali mengaku sebagai orang Banjar.
Bahasa yang mereka kembangkan
dinamakan bahasa Banjar yang pada asasnya ialah bahasa Melayu. Nama Banjar diperoleh
kerana mereka sebelum dijajah pada tahun 1860 adalah warga Kesultanan
Banjarmasin atau singkatnya Banjar, sesuai dengan nama ibu kotanya. Ketika ibu
kota dipindahkan arah ke pedalaman, terakhirnya di Martapura, nama tersebut
nampaknya sudah baku dan tidak berubah lagi. Ketika pusat kerajaan dipindahkan
ke Banjarmasin dan terbentuknya Kesultanan Banjar, sebahagian warga Batang
Banyu dipindahkan ke pusat kekuasaan yang baru ini, dan dengan demikian terbentuklah
subsuku Banjar. Di kawasan ini mereka berjumpa dengan suku Dayak Ngaju, dan
seperti masyarakat Dayak Bukit dan masyarakat Dayak Manyan atau Lawangan,
banyak di antara mereka yang akhirnya melebur ke dalam masyarakat Banjar
setelah mereka memeluk agama Islam, atau berimigrasi ke tempat-tempat lain,
khususnya ke sebelah barat sungai Barito. Mereka yang bertempat tinggal di
sekitar ibu kota kesultanan inilah sebenarnya yang dinamakan atau menamakan
dirinya orang Banjar, sedangkan masyarakat Pahuluan dan masyarakat Batang Banyu
biasa menyebut diri mereka sebagai orang asal kota-kota kuno yang terkemuka
dahulu. Tetapi bila berada di luar tanah Banjar, mereka itu tanpa kecuali
mengaku sebagai orang Banjar. Setelah kesultanan Banjar dibubarkan oleh
penjajah Belanda, ramai orang Banjar yang bermigrasi ke luar daerah. Salah
satunya adalah ke Sapat yang diperintah oleh Kerajaan Indragiri yang sekarang
ini dinamakan Kabupaten Indragiri Hilir. Sebahagian daripada mereka ada pula
yang berpindah ke Malaysia seperti ke negeri Selangor, Kedah, Perak dan
lain-lain.[3]
Budaya
Jujuran Dalam Perkawinan Adat Banjar
Persepsi pria suku Banjar terhadap
budaya jujuran dalam perkawinan adat adalah merupakan kewajiban pria suku
Banjar yang harus dijalankan dalam perkawinan, merupakan budaya yang sudah
turun temurun yang dijalankan oleh masyarakat suku Banjar dan merupakan
kebanggaan apabila dijalankan dalam perkawinannya, sebagai bentuk penghargaan
terhadap wanita yang akan dikawini, merupakan budaya yang sangat memberatkan serta
menyulitkan pria suku Banjar dalam melaksanakan perkawinan. Kedudukan pria suku
Banjar dalam budaya jujuran adalah pria memiliki kedudukan yang tinggi karena
pria yang memberikan jujuran kepada wanita, selain itu adanya pandangan bahwa
kedudukan pria dalam budaya jujuran merupakan pihak yang ditekan oleh pihak
wanita karena yang menentukan besarnya jumlah jujuran yang diminta.[4]
Idwar Saleh (1991:92) mengemukakan bahwa masyarakat
Banjar, sesuai dengan ajaran agama Islam diijinkan untuk menikah hingga empat
kali tetapi pelaku poligami ini haruslah bisa bersikap adil antara istri yang
satu dengan istri berikutnya. Salah satu bentuk ‘adil’ menurut adat istiadat
Banjar adalah bahwa seorang laki-laki baru layak menikah lagi setelah ia mampu
memberikan harta 56 kekayaan kepada istri
terdahulunya. Oleh sebab itulah laki-laki yang berani melakukan poligami
biasanya adalah mereka yang memiliki kemampuan ekonomi yang cukup, tetapi tidak
menutup kemungkinan juga bahwa dalam tindakan poligami ini dilakukan oleh
mereka yang tidak mapan secara ekonomi dan pada umumnya tidak meminta ijin dari
istrinya yang pertama.
Sistem Kekerabatan
Seperti sistem kekerabatan umumnya,
masyarakat Banjar mengenal istilah-istilah tertentu sebagai panggilan dalam keluarga
yang berpusat dari ulun sebagai
penyebutnya. Bagi ulun juga terdapat
panggilan untuk saudara dari ayah atau ibu, saudara tertua disebut Julak,
saudara kedua disebut Gulu, saudara berikutnya disebut Tuha, saudara tengah
dari ayah dan ibu disebut Angah, dan yang lainnya biasa disebut Pakacil (paman
muda/kecil) dan Makacil (bibi muda/kecil), sedangkan termuda disebut Busu.
Untuk memanggil saudara dari kai dan nini sama saja, begitu pula untuk saudara
datu.
Untuk memanggil orang yang seumur
boleh dipanggil ikam, boleh juga menggunakan kata aku untuk menunjuk diri
sendiri. Sedangkan untuk menghormati atau memanggil yang lebih tua digunakan
kata pian, dan kata ulun untuk menunjuk diri sendiri.
Kebudayaan
Kehidupan orang Banjar terutama
kelompok Banjar Kuala dan Batang Banyu lekat dengan budaya sungai. Sebagai sarana
transportasi, orang Banjar mengembangkan beragam jukung (perahu) sesuai dengan
fungsinya yakni Jukung Pahumaan, Jukung Paiwakan, Jukung Paramuan, Jukung
Palambakan, Jukung Pambarasan, Jukung Gumbili, Jukung Pamasiran, Jukung Beca
Banyu, Jukung Getek, Jukung Palanjaan, Jukung Rombong, Jukung/Perahu Tambangan,
Jukung Undaan, Jukung Tiung dan lain-lain. Kondisi geografis Kalimantan Selatan
yang banyak memiliki sungai dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh orang
Banjar, sehingga salah satu keahlian orang Banjar adalah mengolah lahan pasang
surut menjadi kawasan budi daya pertanian dan permukiman. Sistem irigasi khas
orang Banjar yang dikembangkan masyarakat Banjar mengenal tiga macam kanal.
Pertama, Anjir (ada juga yang menyebutnya Antasan) yakni semacam saluran primer
yang menghubungkan antara dua sungai. Anjir berfungsi untuk kepentingan umum
dengan titik berat sebagai sistem irigasi pertanian dan sarana transportasi.
Kedua, Handil (ada juga yang menyebut Tatah) yakni semacam saluran yang
muaranya di sungai atau di Anjir. Handil dibuat untuk menyalurkan air ke lahan
pertanian daerah daratan. Handil ukurannya lebih kecil dari Anjir dan merupakan
milik kelompok atau bubuhan tertentu. Ketiga, Saka merupakan saluran tersier
untuk menyalurkan air yang biasanya diambil dari Handil. Saluran ini berukuran
lebih kecil dari Handil dan merupakan milik keluarga atau pribadi.
Rumah Banjar
Rumah Banjar adalah rumah
tradisional suku Banjar. Arsitektur tradisional ciri-cirinya antara lain
mempunyai perlambang, mempunyai penekanan pada atap, ornamental, dekoratif dan
simetris. Rumah tradisonal Banjar adalah tipe-tipe rumah khas Banjar dengan
gaya dan ukirannya sendiri mulai berkembang sebelum tahun 1871 sampai tahun
1935. Dari sekian banyak jenis-jenis rumah Banjar, tipe Bubungan Tinggi
merupakan jenis rumah Banjar yang paling dikenal dan menjadi identitas rumah
adat suku Banjar.
Tradisi lisan
Tradisi lisan oleh Suku Banjar
sangat dipengaruhi oleh budaya Melayu, Arab, dan Cina. Tradisi lisan Banjar
(yang kemudian hari menjadi sebuah kesenian) berkembang sekitar abad ke-18 yang
di antaranya adalah Madihin dan Lamut. Madihin berasal dari bahasa Arab, yakni
madah (ﻤﺪﺡ) yang artinya pujian. Madihin merupakan puisi rakyat anonim bertipe
hiburan yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar dengan bentuk fisik
dan bentuk mental tertentu sesuai dengan konvensi yang berlaku secara khusus
dalam khasanah folklor Banjar di Kalsel. Sedangkan Lamut adalah sebuah tradisi
berkisah yang berisi cerita tentang pesan dan nilai-nilai keagamaan, sosial dan
budaya Banjar. Lamut berasal dari negeri Cina dan mulanya menggunakan bahasa
Tionghoa. Namun, setelah dibawa ke Tanah Banjar oleh pedagang-pedagang Cina,
maka bahasanya disesuaikan menjadi bahasa Banjar.
Tarian
Seni Tari Banjar terbagi menjadi
dua, yaitu seni tari yang dikembangkan di lingkungan istana (kraton), dan seni
tari yang dikembangkan oleh rakyat. Seni tari kraton ditandai dengan nama
"Baksa" yang berasal dari bahasa Jawa (beksan) yang menandakan
kehalusan gerak dalam tata tarinya. Tari-tari ini telah ada dari ratusan tahun
yang lalu, semenjak zaman hindu, namun gerakan dan busananya telah disesuaikan
dengan situasi dan kondisi dewasa ini. Contohnya, gerakan-gerakan tertentu yang
dianggap tidak sesuai dengan adab islam mengalami sedikit perubahan.[5]
[1] Suku Banjar,
diakses dari https://www.scribd.com/doc/31527356/SUKU-BANJAR pada tanggal
09 Juni 2016 pukul 20.24 WIB.
[2] BAB II
Deskripsi Objek Penelitian, diakses dari
http://e-journal.uajy.ac.id/3209/3/2KOM03477.pdf pada tanggal
09 Juni 2016 pukul 20.37 WIB.
[3]
Rahim Aman, Zulkifley Hamid, Shahidi Abd, Profil pemikiran Banjar: Satu
kajian perbandingan antara suku
Banjar di Malaysia dan di Indonesia, diakses dari http://www.ukm.my/ geografia/images/upload/2c.
geografia-nov%202012-si-rahim%20aman-edkat2.pdf pada tanggal 08 Juni 2016 jam 20.23 WIB.
[4] Dina Aprilia, Budaya Jujuran
dalam Masyarakat Banjar http://eprints.umm.ac.id/6451/1/BUDAYA_JUJURAN_DALAM_PERKAWINANADAT_BANJAR.pdf
pada tanggal 09 Juni 2016 pukul 20.40 WIB.
[5] Kearifan Lokal Masyarakat Banjar
http://eprints.unlam.ac.id/224/1/11%20Kearifan%20Religi%20Masy%20Banjar%20Pahuluan-Publika.pdf
pada tanggal 09 Juni 2016 pukul 20.40 WIB.
Langganan:
Postingan (Atom)