Membaca Asal Usul Agama Suku Flores
Oleh
Deni Iskandar
11120321000004
A.
Latar Belakang
Pertanyaan utama yang
menggelitik rasa ingin tahu saya ketika menerima topik sarasehan ini adalah, untuk apa menggali ‘rasa
religiositas’ sebuah kelompok etnis? Apa sesungguhnya relevansi dan urgensinya?
Jawaban atas pertanyaan ini –yang akan diberikan di bagian pengantar ini, penting
sebagai dasar bagi pembahasan selanjutnya.
Beberapa ahli filsafat
kebudayaan, seperti Zoetmulder, Driyarkara, Mangunwijaya, Dick Hartoko, mengungkapkan
bahwa awal mula segala ilmu pengetahuan dan kebudayaan adalah rasa
religiositas.
Dengan kata lain,
keinginan untuk memuja Sang Pencipta mendorong terbentuknya kebudayaan setiap
etnis. Karena itu, menurut saya, memahami 'rasa religiositas' dari sebuah
kelompok etnik merupakan kunci memahami kebudayaan etnis tersebut, karena
kebudayaan pada awalnya diabdikan untuk mengungkapkan rasa religiositas
tersebut.
Dengan memasukkan
faktor budaya dalam upaya menuju ke inkulturisasi (musik) liturgi, berarti ada
pengakuan yang lebih tegas dan eksplisit mengenai fungsi budaya. Menurut para
ahli kebudayaan seperti Galtum, kebudayaan memainkan peranan yang sangat
menentukan dalam pergerakan sosial besar yang mengubah masyarakat. Menurut saya, hal itu berlaku pula dalam hal
religi, yakni jika kita mau 'mengubah'
masyarakat menuju ke semangat Injil yang (lebih) benar.
Untuk mencapai tujuan
itu, makalah ini akan membahas lima aspek, yakni: pengantar memahami masyarakat
Flores, agama-agama asli di Flores, keutamaan-keutamaan orang Flores, catatan
ringkas tentang rasa musikal orang Flkores, dan akan diakhiri dengan catatan
tentang inkulturasi musik di Flores.
B. Sekilas Masyarakat Flores
Pengantar ke dalam
masyarakat Flores ini dimaksudkan untuk menjelaskan secara singkat bagaimana
konteks nyata masyarakat Flores. Penjelasan ini akan mencakup dua hal yakni
sejarah, lingkungan dan masyarakat Flores.
C. Sejarah Flores
Nama Pulau Flores
berasal dari Bahasa Portugis "Cabo
de Flores" yang berarti "Tanjung Bunga". Nama ini semula
diberikan oleh S. M. Cabot untuk menyebut wilayah paling timur dari Pulau
Flores. Nama ini kemudian dipakai secara resmi sejak tahun 1636 oleh Gubenur
Jenderal Hindia Belanda Hendrik Brouwer.
Nama Flores yang sudah
hidup hampir empat abad ini sesungguhnya tidak mencerminkan kekayaan Flora yang
dikandung oleh pulau ini. Karena itu, lewat sebuah studi yang cukup mendalam
Orinbao (1969) mengungkapkan bahwa nama asli Pulau Flores adalah Nusa Nipa
(yang artinya Pulau Ular). Dari sudut Antropologi, istilah ini lebih bermanfaat
karena mengandung berbagai makna filosofis, kultural dan ritual
masyarakat Flores.
Pulau Flores, Alor dan Pantar merupakan
lanjutan dari rangkaian Sunda System
yang bergunung api. Flores memiliki musim penghujan yang pendek dan musim kemarau yang panjang. Daerah Pulau
Flores meliputi enam kabupaten, yakni Kabupaten Manggarai, Ngadha, Ende, Sikka,
Flores Timur, dan Lembata.
D. Lingkungan dan Masyarakat Flores
Sejarah kependudukan
masyarakat Flores menunjukkan bahwa Pulau ini dihuni oleh berbagai kelompok
etnik yang hidup dalam komunitas-komunitas yang hampir-hampir eksklusif
sifatnya. Masing-masing etnis menempati wilayah tertentu lengkap dengan pranata
sosial budaya dan ideologi yang mengikat anggota masyarakatnya secara utuh.
Heterogenitas penduduk
Flores terlihat dalam sejarah asal-usul, suku, bahasa, filsafat dan pandangan
dunia.
Ditinjau dari sudut
bahasa dan budaya,[1]
terdapat beberapa kelompok etnis di Flores Diantaranya yaitu, etnis
Manggarai-Riung (yang meliputi kelompok bahasa Manggarai, Pae, Mbai, Rajong,
dan Mbaen). Etnis Ngadha-Lio (terdiri dari kelompok bahasa-bahasa Rangga,
Maung, Ngadha, Nage, Keo, Palue, Ende dan Lio. Kelompok etnis Mukang (meliputi
bahasa Sikka, Krowe, Mukang dan Muhang).
Kelompok etnis Lamaholot (meliputi kelompok bahasa
Lamaholot Barat, Lamaholot Timur, dan Lamaholot Tengah). Terakhir kelompok
bahasa Kedang (yang digunakan di wilayah Pulau Lembata bagian selatan).
E.
Agama-agama Asli di Flores
Kristianitas,
khususnya Katolik, sudah dikenal penduduk Pulau Flores sejak abad ke-16. Tahun
1556 Portugis tiba pertama kali di Solor. Tahun 1561 Uskup Malaka mengirim
empat misionaris Dominikan untuk mendirikan misi permanen di sana. Tahun 1566
Pastor Antonio da Cruz membangun sebuah benteng di Solor dan sebuah Seminari di
dekat kota Larantuka. Tahun 1577 saja sudah ada sekitar 50.000 orang Katolik di
Flores.
Setelah itu pada
tahun, 1641 terjadi migrasi besar-besaran penduduk Melayu Kristen ke Larantuka
ketika Portugis ditaklukkan Belanda di Malaka. Sejak itulah kebanyakan penduduk
Flores mulai mengenal kristianitas, dimulai dari Pulau Solor dan Larantuka di
Flores Timur kemudian menyebar ke seluruh daratan Flores dan Timor. Dengan
demikian, berbeda dari penduduk di daerah-daerah lain di Indonesia, mayoritas
masyarakat Pulau Flores memeluk agama Katolik.
Meskipun kristianitas
sudah dikenal sejak permulaan abad ke-16, kehidupan keagamaan di Pulau Flores
memiliki pelbagai kekhasan. Bagaimanapun, hidup beragama di Flores –sebagaimana
juga di berbagai daerah lainnya di Nusantara, sangat diwarnai oleh unsur-unsur kultural yaitu pola tradisi
asli warisan nenek-moyang.
Di samping itu, unsur-unsur historis, yakni tradisi-tradisi luar yang masuk melalui
para misionaris turut berperan pula dalam kehidupan masyarakat.
Kedua unsur ini diberi
bentuk oleh sistem kebudayaan Flores sehingga Vatter menilai di beberapa tempat
di Flores ada semacam percampuran yang aneh antara Kristianitas dan kekafiran.
Kepercayaan yang bersifat astral dan kosmologis ini berasal dari pengalaman
hidup mereka yang agraris, yang hidup dari kebaikan langit (hujan) dan bumi
(tanaman) Lahan pertanian yang cenderung tandus membuat orang Flores
sungguh-sungguh berharap pada penyelenggaraan Dewa Langit dan Dewi Bumi.
F. Kejujuran dan Keadilan
Kepercayaan yang kuat
dan penyerahan diri seutuhnya pada Tuhan menimbulkan nilai-nilai keutamaan
lainnya yang juga dijunjung tinggi orang Flores seperti kejujuran dan keadilan.
Nilai ini muncul sebagai keyakinan bahwa ‘Tuhan mempunyai mata’ (Lera Wulan Tanah Ekan no-on matan) . Tuhan melihat semua perbuatan manusia,
sekalipun tersembunyi. Dia menghukum
yang jahat dan mengganjar yang baik.
Sifat dan tabiat kejujuran ini sangat
menarik perhatian Vatter. Dia mencatat, hormat terhadap hak milik oang lain tertanam
sangat kuat di benak orang Flores. Pencurian termasuk pelanggaran berat di
Flores. Pada zaman dahulu dikenakan hukuman mati, dan saat ini pencuri dikenai
sangsi adat berupa denda yang sangat besar.
G. Penghargaan yang Tinggi akan Adat dan Upacara Ritual
Studi Graham (1985)
mengungkapkan bahwa dalam kehidupan sosial-budaya masyarakat Flores Timur, ada
empat aspek yang memainkan peranan penting, yaitu episode-episode dalam mitos
asal-usul, dan tiga simbol ritual lainnya yakni nuba nara (altar/batu pemujaan), korke (rumah adat), dan namang
(tempat menari yang biasanya terletak di halaman korke). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa orang Flores memiliki
penghargaan yang sangat tinggi akan adat-istiadat dan upacara-upacara ritual
warisan nenek-moyangnya. [2]
Mitos cerita asal-usul
dipandang sebagai unsur terpenting dalam menentukan otoritas dan kekuasaan.
Melalui episode-episode dalam mitos asal-usul itulah legitimasi magis leluhur
pertama dapat diperoleh.
Mitos asal-usul yang
sering dikeramatkan itu biasanya diceritakan kembali pada kesempatan-kesempatan
ritual formal seperti membangun relasi perkawinan, upacara penguburan, terjadi
sengketa tanah, persiapan perang, pembukaan ladang baru, panen, menerima tamu,
dan sebagainya.
Nuba-nara atau altar/batu pemujaan merupakan simbol kehadiran Lera
Wulan Tanah Ekan. Ada kepercayaan bahwa Lera Wulan turun dan bersatu dengan
Tanah Ekan melalui Nuba Nara itu. Korke yang dilengkapi dengan Nama adalah "gereja"
tradisional, pusat pengharapan dan penghiburan mereka.
Sangat kuat dan menonjolnya peranan devoci kepada Bunda Maria di kalangan
orang Flores di satu pihak menunjukkan
unsur historis (warisan zaman Portugis) tetapi sekaligus kultural (pemujaan
terhadap Ibu Bumi, seperti dalam ungkapan Ama Lera Wulan-Ina Tanah Ekan).
H. Rasa Kesatuan Orang Flores
Ikatan kolektif yang
sangat kuat dalam masyarakat Lamaholot terjadi pada tingkat kampung atau Lewo. Masyarakat Lamaholot pada umumnya memiliki keterikatan
yang khas dengan Lewotanah atau
tempat tinggal. Melalui ukuran kampung, mereka membedakan dirinya dengan orang
dari kampung lainnya. Kampung merupakan kelompok sosial terbesar, dan kesadaran
berkelompok hampir tidak melampaui batas kampung.
Di Flores sebetulnya
tidak ada kesadaran akan persatuan yang bertopang pada pertalian genealogis,
historis maupun politis. Seperti disebutkan di atas, keterikatan mereka lebih
disebabkan faktor kesamaan tempat tinggal atau kampung. Sekalipun demikian, pola
organisasi kampung selalu dibangun dengan semangat dan pemikiran tentang kohesi
sosial yang berpangkal pada kerangka genealogis.
Dalam kampung-kampuang
itu tinggal orang-orang dari berbagai kelompok imigran, yang kemudian
digolong-golongkan dalam suku (istilah untuk suku adalah Ama).
Itulah sebabnya orang Flores cenderung menyapa
sesamanya dengan sebutan kekerabatan (Om, Tante, Kakak, Adik atau mengaku
sebagai saudara). Mereka juga bisa menghargai perbedaan politis, agama, etnis
bila mereka telah diikat dalam satu kesatuan tempat tinggal. Rasa kesatuan seperti ini, kadang-kadang
membuat orang Flores menjadi sedikit bersifat etnosentris[3].
Penutup
Agama Katolik hanya
bisa berakar dalam kebudayaan sebuah kelompok etnis jika Katolik sudah
terungkap dalam pola pikir, pola sikap, dan pola tindakan masyarakat pendukung
etnis itu, dan bahkan memimpin dan mengarahkan kehidupan sosial-budaya
setempat.
Injil sudah harus ikut
mempengaruhi, membentuk, mengarahkan, dan merasuk ke dalam sistem nilai dan
sistem budaya lokal. Agama Katolik hanya akan berakar, sejauh ia mampu
menginjili sistem keagamaan masyarakat. Jika tidak, Katolik akan tetap tinggal
di luar.
Dalam kaitan dengan
ini, maka proses inkulturisasi, bagi saya, adalah mengangkat nilai-nilai dasar
dan paham-paham inti budaya kelompok etnis tertentu ke dalam interaksi dinamis dengan Kitab Suci
dan tradisi gereja. Dalam interaksi ini paham-paham budaya asli akan bertemu
dengan ilham esensial gereja sebagai wahyu dan konteks-konteks wahyu itu
sendiri. Hal ini membutuhkan proses yang
panjang, dan di sisi akademis membutuhkan studi dan diskusi yang mendalam.
Khusus dalam hal
inkulturisasi musik liturgi di Flores, perlu dipahami bakat musikal orang
Flores itu. Lagu-lagu yang sudah direduksi menjadi satu suara sangat
membosankan orang Flores yang sudah sangat terbiasa menyanyi dalam empat suara.
Untuk mendukung
inkulturisasi musik liturgi di Flores, perlu diinventarisasikan lagu-lagu
rakyat, ditranformasikan menjadi lagu liturgis, dan diterbitkan dalam buku
nyanyian khusus dengan pola empat suara.
Lagu-lagu dengan
semangat dan warna musik yang sama (seperti dari daerah Minahasa, Ambon, Papua,
serta dari daerah lainnya) dapat pula
dilibatkan dalam buku nyanyian ini. Penggunaan alat-alat musik tradisional
(misalnya gong waning di Sikka,
suling bambu di Ende dan Flores Timur, orkes kampung hampir di seluruh Flores)
dalam musik liturgi sungguh-sungguh menarik minat dan partisipasi umat,
khususnya generasi muda Flores.
Daftar Pustaka
1.
Daeng, Hans J., 2000. Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungan:
Tinjauan Anropologis. Pengantar Dr. Irwan Abdullah. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
2.
http://johan-dode.blogspot.co.id/2012/02/sejarah-flores.html
diakses Pada Rabu, 13 April 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar