LELUHUR SUKU MADURA DAN
MITOLOGINYA
Oleh: Noor
Kholis Swandy
Dalam
masyarakat Madura, Para Leluhur atau Nenek Moyang dari keturunan keluarga
mereka disebut “Bujuk”. Tidak hanya itu, bujuk di Madura juga diyakini
sebagai tokoh agama yang menyebarkan agama Islam sehingga tidak heran apabila
banyak diantaranya yang dikeramatkan. Nama bujuk biasanya
diambil dari nama tempat kyai tersebut berasal atau tinggal, nama bujuk juga
ada yang diambil dari kebiasaan kyai saat hidup, atau dari hal-hal mistis yang berkaitan
dengannya semasa hidup.
Usia makam tersebut
dari puluhan hingga ratusan tahun. Berdasarkan silsilahnya. Sebagian besar
makam tersebut adalah keturunan bangsa Arab yang
sengaja datang ke Madura untuk menyebarkan Islam. Sebagaian mereka juga masih
mempunyai hubungan darah dengan Wali Songo. Sebagian lagi merupakan silsilah
keluarga kerajaan Jawa dan Madura yang juga dianggap berperan dalam menyebar
luaskan Islam di Madura.
a.
Mbah Bujuk
Lattong
Dahulu kala di Batuampar,
Pamekasan, yang sebagai basis penyebaran islam madura tengah pernah tinggal Syekh
Abdul Manan bin Sayyid Husein yang masih cicit Sunan Ampel. Syekh Abdul
Manan banyak dikenal dengan legenda Bujuk Kasambi.
Begini ceritanya. Bapaknya, Sayyid Husein
merupakan tokoh penting di Bangkalan karena mempunyai banyak pengikut. Hingga
kemudian, Sayyid Husein ditumpas habis oleh raja karena difitnah hendak
melakukan makar. Dalam keadaan itu, Syekh Abdul Manan mengasingkan diri di
tengah perbukitan Batuampar. Di hutan tersebut, Syekh Manan bertapa di bawah
pohon kasambi untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Nggak tanggung-tanggung,
pertapaan itu dilakukan selama 41 tahun. Dia memulai pertapaan itu saat berumur
21 tahun.
Hingga
akhirnya dia ditemukan seorang penduduk desa yang sedang mencari kayu dihutan.
Setelah dibawa kerumahnya, timbullah jalinan kekeluargaan hingga terjadi
kesepakan dengan keluarga tersebut. Syekh Manan lalu dijodohkan dan memilih
sendiri perjodohan itu dengan seorang putri sulungnya yang menderita penyakit
kulit.
Namanya orang yang
mempunyai karomah, di hari ke 41 pernikahan mereka, penyakit kulit si istri
sembuh seketika. Karena karomah tersebut, Syekh Manan lalu banyak dikenal
sebagai Bujuk Kasambi di darah tersebut.
Dilanjut dengan anaknya,
Bujuk Tumpeng
Syekh Manan dikarunia dua putra dari pernikahan
tersebut. Yakni, Taqihul Muqadam dan Basyaniah. Rupanya, kegemaran bertapa Syekh
Manan atau Bujuk Kasambi tersebut menular kepada putra keduanya, Syekh
Basyaniah. Dia juga selalu menutupi karomahnya dengan menjauhi pergaulan dengan
orang banyak.
Dalam melakoni
pertapaan tersebut, Syekh Basyaniah memilih suatu bukit yang terkenal dengan
nama Gunung Tumpeng yang terletak kurang lebih 500 m arah barat daya dari Desa
Batuampar. Karena banyaknya waktu yang dihabiskan Syekh Basyaniah di gunung
tumpeng itu, maka dia juga dikenal dengan Bujuk Tumpeng. Banyak orang yang
disampaikan dari mulut ke mulut meyakini syekh basyaniah mempunyai banyak
karomah seperti bapaknya. Sayang, tidak banyak yang bisa diceritakan karena
sedikitnya sumber yang menyebut.
Berputra Tunggal Bergelar
Syekh Bujuk Latong
Syekh Basyaniah selama
hidupnya hanya meninggalkan seorang putra yang bernama Syekh Syamsudin. Dia
dikenal dengan sebutan Bujuk Latong. Sifatnya juga suka bertapa sama halnya
dengan bapak dan kakeknya. Bahkan, dia selalu berpindah-pindah dalam melakukan
pertapaannya. Misal, salah satu tempat pertapaanya yang ditemukan didekat
kampung Aeng Nyono’. Wilayah tempat tersebut ada ditengah hutan yang lebat.
Karena seringnya tempat tersebut dipergunakan sebagai lokasi bertapa, oleh
penduduk setempat dinamakan Kampung Pertapaan.
Begitu juga bukit yang
ada dikampung Aeng Nyono’ yang menjadi tempat bertapanya Syekh Syamsudin.
Disana terdapat sebuah kebesaran Allah yang diperlihatkan kepada manusia sampai
sekarang. Tepat di sebelah barat tempat beliau bertapa terdapat sumber mata air
yang mengalir ke atas Bukit Pertapaan. Konon, Syekh Syamsudin mencelupkan
tongkatnya sampai akhirnya mengalir ke atas bukit hingga kini. Karena itu,
kampung itu dinamakan Kampung Aeng Nyono’ yang berarti air yang mengalir ke
atas. Dan konon dengan air inilah beliau berwudhu dan bersuci.
Sebutan latong itu
muncul karena dari dadanya keluar sinar. Konon, jika dilihat oleh orang yang
berdosa, maka orang tersebut akan pingsan atau tewas. Kisah lain menceritakan Sarabe
yang preman ingin menghabisinya. Banyak sudah korban penduduk desa yang
dibunuh. Tapi, ketika Sarabe akan membunuh Syekh Syamsudin dengan sebilah
senjata, tiba-tiba senjata itu lenyap dan tinggal warangkannya. Sarabe lalu
memelas dan memohon agar senjatanya dikembalikan. Syekh Syamsudin menunjuk
letak senjata tersebut berada dalam Latong (kotoran sapi).
Maka, karena kerendahan
hatinya, Syekh Syamsudin menutupi jati dirinya. Dia menutupi karomahnya itu
dengan cara mengoleskan latong disekitar dadanya. Dia wafat dengan meninggalkan
tiga orang putra dan dikebumikan di Batuampar, madura.
b. Bujuk Tamoni
Kekuatan mistik di Asta Paregi
atau yang dikenal Bujuk Tamoni Desa\/Kecamatan Batuan Kabupaten Sumenep, Madura
sulit diterjemahkan dengan logika. Asta (pemakaman) para sesepuh desa setempat
itu ramai dikunjungi pasangan suami istri (Pasutri) yang kesulitan untuk
mempunyai anak (keturunan), terutama pada hari-hari libur.
Mereka meyakini jika
berkunjung dan bernadar (niat) jika mempunyai anak akan membuang ari-ari bayi
(Tamoni), maka pasutri yang selama ini kesulitan mempunyai anak akan cepat
mendapat keturunan, atau dikabulkan atas izin yang Maha Kuasa. Ari-ari dari
bayi yang dilahirkan itu layaknya tumbal yang harus dipersembahkan pada Bujuk
Tamoni.
Tidak sulit dalam proses
persembahkan tumbal ari-ari bayi tersebut. Mereka hanya membuang ari-ari yang
sudah terbungkus dengan plastik atau dengan tempat lain yang dinilai aman
disebelah barat bangunan berukuran 6x4 meter. Dalam bangunan itu merupakan makam sesepuh desa yang meninggal ratusan
tahun lalu.
Tak ayal, jika gundukan
ari-ari bayi (Tamoni) mencapai ketinggian 4 meter di atas lahan 10x5 meter
milik Ny Fatimah (67), warga setempat. Bahkan, sejumlah pohon asam besar yang
tumbuh mengelilingi Bujuk Tamoni itu juga banyak tergantung bungkusan plastik
dan wadah lain yang di dalamnya berisi ari-ari bayi. Seakan menjadi pemandangan
yang mearik bagi penduduk setempat serta pengguna jalan Sumenep menuju
Kecamatan Batuan.
Kemasyhuran Bujuk Tamoni tidak
hanya dikalangan warga Madura, melainkan terdengar hingga Kabupaten Banyuwangi,
Jember, serta kota-kota lain di Jawa Timur khususnya tapal kuda. Para pasutri
banyak berdatangan dengan maksud cepat dikarunia anak dan akan mempersembahkan
ari-arinya pada Bujuk Tamoni di Sumenep.
Salah seorang keturunan Bujuk
Tamoni, Desa\/Batuan, Kabupaten Sumenep, Ny Fatimah (67) mengatakan, setiap
pasutri yang datang permintaannya hanya satu yakni ingin cepat mempunyai
keturunan. "Mereka yang sudah berniat untuk mempersembahkan ari-ari
bayinya maka dengan kehendak Yang Maha Kuasa cepat dikarunia anak sesuai dengan
keinginannya," terang Ny Fatimah.
Selain mempersembahkan ari-ari
bayi, mereka juga membawa jajan pasar warna tujuh dan membawa beras, gula kopi.
Ke-7 jajan pasar itu ikut dipersembahkan pada Bujuk Tamoni sedangkan beras dan
lainnya diberikan pada keturunan Bujuk Tamoni yang setiap saat setia menunggu
para pengunjung di lokasi pembuangan ari-ari bayi
c.
Mitos Tabur Uang Di Sumur Bujuk Sara
Didesa Martajasah Bangkalan dikenal
memiliki asta Bujuk Sara atau yang dikenal dengan nama Sayyid
Syaifuddin. Menariknya, di sekitar asta tersebut terdapat mitos
yang diyakini peziarah. Di lokasi itu terdapat sumur tua berukuran
kecil. Konon ceritanya jika peziarah menabur uang ke sumur itu,
maka setiap keinginannya akan menjadi kenyataan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar