MAKALAH AGAMA-AGAMA LOKAL
SUKU NAULU
Makalah ini disusun untuk memenuhi
tugas mata kuliah agama-agama lokal
Dosen :
Siti Nadroh
Disusun oleh
Wahyu Vebry Putra : 11140321000007
Wahyu :11140321000040
Dewi Purnamasari :11140321000043
FAKULTAS USHULUDDIN
PERBANDINGAN AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016
BAB
I
PENDAHULUAN
Sejak
Indonesia merdeka, Indonesia telah mengakui keberadaan Kepercayaan adat yang
berada di Indonesia. Ini dibuktikan dengan pasal 29 ayat 2 UUD1945 : Negara menjamin
kemerdekaan tiap tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya namun meskipun begitu perwujudan hak kebebasan dalam beragama
atau berkepercayaan belum seperti apa yang diharapkan. Masih banyak peraturan
pemerintah yang sangat diskriminatif terhadap pemeluk aliran kepercayaan ini,
hal ini pula yang dialami dan dirasakan oleh pemeluk Suku Naulu, sebagai salah
satu Agama tertua di Indonesia, sebagai agama yang dianut Suku Dayak di Kalimantan,
sebagai agama yang telah diangkat dan diperkenalkan oleh tjilik riwut pada awal-awal
kemerdekaan negeri ini. Hingga saat ini keberadaanya masih belum diakui secara resmi
oleh pemerintah republik ini.
BAB I
DAFTAR ISI
BAB II
PEMBAHASAN
Pulau Seram
adalah pulau yang mempunyai luas kira-kira 18.625 KM. Pulau
Maluku terletak di Wilayah Indonesia bagian Timur mempunyai posisi
geografiyang strategis, yang terletak memanjang dari utara ke selatan pada 3°
Lintang Utara 9°Lintang Selatan dan dari barat ke timur 124° Bujur Timur
dan 137° Bujur Timur. Luas daerahMaluku ± 85.728 km dan terdiri dari 999 buah
pulau. Pulau Seram adalah pulau yang tertuastruktur geoligisnya dibandingkan pulau
lainnya di daerah Maluku.Pulau Seram yang terkenal oleh penduduk Maluku Tengah dengan sebutan
“NUSAINA” atau “PULAU IBU” adalah merupakan pusat penyebaran penduduk ke pulau
-pulau sekitarnya
antara lain pulau Ambon, pulau Haruku dan pulau Saparua
pulau ini adalah
pulau terbesar di Provinsi Maluku. Pulau Seram teridir dari 9 kecamatan, yaitu
sebagai berikut:
a.
Kecamatan Timur ibukota Geser
b.
Kecamatan Seram Barat 1 ibu kota Piru
c.
Kecamatan barat 2 ibukota Kairatu
d.
Kecamatan Taniwel IbuKota Taniwel
e.
Kecamatan Tehoru Ibukota Tehoru
f.
Kecamatan Bula Ibukota Bula
g.
Kecamatan Seram Utara Ibukota Wahai
h.
Kecamatan Wariname Ibukoata Wariname
i.
Kecamatan Amahi Ibukota Amahi[1]
Suku Naulu ini terletak di kecamatan
Amahi, kampong lama/Yuhisiro dan Bonara. Kata Naulu berasal dari dua kata yaitu
nua yang berarti air, dan ulu yang berarti kepala. Jadi kata
Naulu adalah mempunyai arti suku yang mendiami kepala air Nua/sungai Nua.
Penamaan suku Naulu dilatar belakangi oleh tempat tinggal nenek moyang mereka
sungai Nua yang bersumber di gunung Manusela dan terbagi menjadi dua bagian
yaitu: 1. Nua ulu yang bermuara ke Seram Utara. 2. Nua Ulu yang bermuara ke
Marakiri.[2]
Pada zaman dahulu, telah terjadi
perselisihan diantara klan, dan mengakibatkan para kepala suku bersepakat untuk
pindah ke pantai, tetapi mareka masih dalam keadaan bingung dalam memilih
pantai yang akan menjadi tempat tinggal mereka. selain tempat, mereka juga
mencari arah matahari yang akan menjadi acuan mereka, dari mana matahari terbit
dan diamana matahari terbenam. Kemudian masing-masing kepala suku berbutan
tempat, sehingga mengakibatkan mereka berselisih lagi dan mereka pu kembali ke
Pia Weno di Amatrino. Setelah lama mereka tinggal di tempat itu, kemudian merka
melakukan hubungan dengan raja Sepa, dan memohon untuk hidup berdampingan, sang
raja pun tak keberatan dengan permintaan mereka, asalkan mereka memenuhi
syarat-syarat yang diajukan oleh Raja. Syarat-syarat itu ialah:
b.
Baileu atau rumah
adat yang biasanya dipakai untuk rapat-rapat supaya dipindahkan dari tepi
pantai(lambat lama) ke tempat baru dan tiang leewaka ditanggung oleh suku
naulu.
Sejak saat itulah sudah tidak ada lagi Suku Naulu yang memotong
kepala manusia dan Baeleu sepu dibangun secara gotong royong oleh Suku Naulu.
Dalam suku ini terdapat kabta atau semacam kaidah-kaidah atau mantra-mantra
yang mengambarkan persahabatan antara Suku Naulu dengan Raja Sepa: Toutoya be lete ei lete, eilete nunusaku o
paratane. Maksudnya, sebeleum Suku Naulu bertemu dengan Raja Sepa di pantai
Naulu laksana hewan yang berkeliaran di pantai
Pola
perkampungan mereka biasanya berupa rumah-rumah yang berderet di sepanjang kiri
kanan jalan utama kampung. Setiap rumah yang memiliki anak gadis yang siap
untuk dicarikan jodoh mendirikan sebuah bangunan sakral kecil yang mereka sebut
posuno. Sedangkan untuk pemenuhan kebutuhan spritual umum mereka mendirikan
sebuah bangunan sakral untuk memuja roh kakek dan nenek moyang. Bangunan itu
disebut suwane. Selain itu mereka mempunyai sebuah balai adat yang digunakan
untuk musyawarah adat yang dinamai baileo
.
diakses pada tanggal 10 dari https://www.google.com/search?q=rumah+adat+suku+naulu&client=firefox-beta&rls=org.mozilla
Suku
Naulu percaya dengan adanya Allah oleh karna itu segala sesuatu yang mereka
inginkan mereka langsung berdoa kepada Allah SWT yang mereka sebut Upu
Kuanahatana atau Upu Allah SWT. Upu ini adalah kepercayaan yang paling
tertinggi bagi Suku Naulu dalam kabata misalnya disebutkan [3]
“Eh
Upu Kuanahatana nante tuaman yaupu amomo, kalu bole aue malisene kuakahue Irene pakarian duna sanan duna
salam tanka weundo kuakarane supaya upare huru amahai sakahannusanaunda”.
Maksud
dari doa tersebut adalah mereka memohon kepada Upu kuanahatana agar mereka
diberikan keselamatan kebaikan di dunia untuk dirinya sendiri dan orang lain, d0
an
untuk keselamatan dunia pada umumnya.[4]
Sebelum melakukan doa tersebut mereka pun harus melakukan upacara
terlebih dahulu seperti menyiapkan sesajen yang terdiri dari makana, sirih,
buah pinang, tembakau, kapur dan beberapa jenis daun tertentu yang diletakan
diatas piring tua. Kemudian mereka harus mengundang para ketua adat yang
nantinya ketua adat tersebut harus berdiri ditengah pintu sambil membacakan
kabata atau yang sejenis dengan hal itu dalam sumpahpun mereka menyebut nama Upu
kuahanatana seperti “ Upu kuahanatana atau Upu Allah SWT” sambil menunjukan
telunjuknya keatas.
b.
Mite penjadian, Ada
beberapa mite dalam proses kejadian alam, berikut adalah proses mite penjadian:
1.
Awalu, (Upu Kuanahatan) menjadikan nunusaku. Nunusaku adalah
suatu hal yang berpribadi. Dari nunusaku inilah menjelmaseorang pribadi bentuk
laki-laki. Pada suatu waktu, terjadi hubungan antara seorang pribadi yang
berbentuk laki-laki dengan seorang wanita yang berasal dari kayangan (langit).
Dari hubungan kedua lawan jenis ini lahirlah manusia-manusia, seperti Tala, Eti
dan Sapalewa. Dengan izin Upu Kuanahatana darah yang mengalir dari kelahiran
Tala, Eti dan Sapalewa itu menjadi danau. Kemudian danau itu mengalir menjadi
tiga sungai yaitu:
a.
Sungai yang mengalir ke utara bernama Sapalewa
b.
Sungai yang mengalir ke selatan bernama Tala
c.
Sungai yang mengalir ke barat bernama Eti. Dari
sinilah kemudian manusia dan alam berkembang hingga saat ini.
2.
Upu Kuanahatana menciptakan langit sebagai pribadi laki-laki(adam)
dan bumi sebagai pribadi perempuan (hawa). Dari persentuhan kedua pribadi
tersebut, lahirlah benda-benda alam yang lain. Dalam proses terjadinya bumi dan
segala isinya. Setelah terjadi semua isi bumi, Upu Kuanahatana menurunkan
maatope dari langit. Ketika maatope diturunkan dari langit dengan tali seperti
benang sutra yang sangat halus, mengingat bumi dimana tempat turunnya maatope
ini masih cair maka tiba-tiba berubah menjadi padat, dan akhirnya
maatopemaanawa yakni maatope laki-laki. Setelah itu Upu Kuanahatana menciptakan
maatope hihina (perempuan) dari langit, langsung diturunkan ke bumi . dari
maatope Maanawa dan maatope hihina inilah berkembangnya manusia.
Bukti bahwa maatope/Upu Ama itu keluar dari Nunusaku ialah karena
adanya kabata yang berbunyi “he le te Nunusaku” intinya dari ungkapan
kabata ini Maatope berasal dari Nunusaku.[5]
Dalam tradisi memotong kepala manusia yang diseprcayai dapat
menjaga rumah adat milik mereka, tradisi ini diyakini bahwa jika tidak
mendapatkan kepala manusia sebagai persembahanm maka dapat mendatangkan musibah
bagi suku ini. Tidak hanya itu, bahkan dalam tradisi nenek moyangnya, apabila
seorang raja hendak mengangkat menantu laki-laki, maka sang calon harus
menunjukan kejanntannya dengan
mempersembahkan kepala manusia sebagai mas kawinnya.
b.
Upacara masa puber
Masa puber adalah suatu masa peralihan bagi seorang anak dari sifat
kekanak-kanakan ke usia dewasa. Dalam Suku Naulu masa ini akan di meriahkan
dengan membuat upacara secara besar-besaran.
Jika orang tua yang memiliki anak usia 10-12 tahun, maka anak itu
harus mengenakan cidako yaitu selembar kain yang berfungsi menutup
bagian pusar ke bawah dan kebelakangnya berfungsi untuk mengikat pinggang.
Upacara cidako ini dimeriahkan dengan berbagai upacara kesenian dan
sajian-sajian makanan yang beraneka ragam, dan inti dari upacara ini
adalah untuk memberikan bekal
ketangkasan, keterampilan serta kemampuannya untuk menghadapi tugas-tugas berat
yang di alami oleh orang dewasa. terhadap anak-anak yang mau mnginjak usia
dewasa. Pembekalan itu dilakukan dengan menguji seseorang untuk pergi ke hutan
dan ia harus bisa mengkap binatang buas, ketika pengujian itu berlangsung
seorang anak akan di bombing oleh orang tua mereka dan para tertua adat.
Dikalangan
Suku Naulu terdapat dua macam perkawinan, yaitu:
1.
Kawin minta (Iai Sosinai)
Sebagaimana lazimnya sebuah pesta perkawinan, Suku Naulu pun
memiliki upacara adat istiadat yang tidak jauh berbeda dengan adat perkawinan
pada umumnya, seperti harus adanya maskawin dari mempelai laki-laki yang
diberikan terhadap mempelai perempuan dan besarnya maskawin tergantung pada kemampuan
mempelai laki-laki, namun dalam Suku Naulu ada keharusan yang diebrikan dari
pihak laki-laki kepada mempelai peempuan, seperti 5 meter kain berang dan 5
buah piring tua.[6]
Upacara perkawinan dilaksanaka di rumah mempelai perempuan, dan
mempelai laki-laki di antar oleh seluruh keluarga dan kerabatnya menuju tempat
dimana acara akan dilangsungkan dengan memakai pakaian adat setempat dan
diringi dengan berbagai bunyi-bunyian, kemudian disandingkan dengan mempelai
perempuan. Pada kesokan harinya kedua pengantin diantar oleh kerabat
terdekatnya ke rumah orang tua laki-laki. Di rumah laki-laki akan diadakan
upacara nuhun yaitu pernikahan ulang dengan penekanan acara pada pemberian
nasihat-nasihat kepada kedua mempelai yang disampaikan oleh orang tua
masing-masing dan tertua adat.
Setelah upacara nuhun ini
berlangsung, merika dapat memilih salah satu dari tiga hal, yaitu: pertama,
tinggal di rumah orangtua laki-laki, kedua tinggal di rumah orangtua perempuan
dan ketiga tinggal di rumah sendiri.
2.
Kawin masuk (kona upu)
Adat istiadat dalam kuna upu adalah sebagai berikut:
· Sejak diputuskannya penerimaan
peminangan dari pihak prempuan terhadap mempelai laki-laki, pihak laki-laki
diperbolehkan tinggal di rumah perempuan.
· Waktu pernikahan ditentukan oleh
pihak perempuan,
· Semua biaya pernikahan ditanggung
sepenuhnya oleh pihak perempuan,
· Nuhun (pernikahan) dan pesta pernikahan diadakan di rumah perempuan,
· Setelah keduanya melangsungkan
pernikahan, mereka di haruskan untuk tinggal di rumah perempuan.[7]
Kawin masuk yang biayanya di tanggung oleh pihak perempuan ini
mempunyai arti tersendiri, yaitu, agar pihak laki-laki bertanggung jawab kepada
keluarga perempuandan menjaga sepenuhnya orangtua perempuan sampai mereka
meninggal dunia. Setelah orangtua perempuan meninggal dunia, barulah mempelai
laki-laki di berilah pilihan sebagai beriut:
1.tetap tinggal di rumah itu
2. membangun rumah baru
3. kembali ke rumah orang tuanya.
Dalam Suku Naulu, seorang ibu yang melahirkan dianggap dirinya
dalam keadaan kotor, oleh karena itu setiap wanita yang mealhirkan akan
diasingkan ke sebuah rumah kecil yang di bangun di belakang/samping rumah yang
mereka sebut dengan Pasumo[8].
Sebelum ibu yang melahirkan ke luar dari pasumo, maka mereka
harus mengadakan pesta Nuhune
yaitu pesta adat khusus bagi perempuan yang baru melahirkan. Pesta ini
merupakan suatu keharusan untuk dilaksanakan dan dibuat sesuai dengan kemampuan
masing-masing, oleh karena itu, jika dalam waktu 50 hari keluarga si ibu belum
mempunyai atau belum mampu melaksanakan pesta tersebut, maka ibu yang
melahirkan harus tetap tinggal di dalam Pasumo tersebut sampai ia mampu
melaksanakan pesta Nuhune.
Jika sudah bisa mengadakan upacara, orang tua harus memintakan
kesedihan orang-orang tua adat perempuan atau keturunan dari maatope Hibina
untuk memandikan si ibu dengan anaknya, sehari sebelum upacara di mulai, orang
tua adat yang akan memandikan dan keluarga yang bersangkutan harus melakukan
puasa.
Upacara cukur rambut atau di kenal dengan nama O mane bua minna, upacara ini
diadakan pada saat anak berusia 5-6 tahun. Apabila anak sudah berusia 6 tahun
tapi keluarga tersebut belum mampu mengadakan upacara ini, maka akan diadakan
denda kain berang kepada rumah adat.
Dalam upacara ini, rambut si anak di cukur habis, karena dalam
kepercayaan mereka, rambut yang terbawa sejak lahir tidak boleh di bawa sampai
besar, karena sifat kekanak-kanakan yang tidak baik, harus ditinggalkan bersama
dengan semua rambut yang di cukur itu dan sifat-sifat baik dalam kebesarannya
diharapkan ada pada saat ia dewasa kelak.
Pada masyarakat suku Naulu tradisi mencukur rambut merupakan
peristiwa sekali dalam seumur hidup, setelah dewasa rambut seseorang tidak
boleh di cukur lagi, apalagi dalam peraturan adat mereka dalam melaksanakan
uapacara balieu seseorang tidak boleh berkepala gundul, aturan ini tidak boleh
di langgar karena perintah dari maatope.
Jika diantara mereka ada yang meninggal, mereka pun mengenal
berbagai upacara kematian, jik seseorang yang meninggal karena penyakit yang
telah diderita terlalu lama, maka mayatnya harus dimandikan. Bila suami yang
meninggal maka istrinya lah yang harus memandikan, begitupun sebaliknya, jika
istri yang meninggal maka suami harus memandikan[9].
Bagi keluarga yang mampu, mayatnya dibungkus dengan kain berang,
lapisan kedua dengan beberapa lembar kain sarung dan lapisan terakhir dibungkus
dengan tikar. Cidako yang dulu dipakai pada masa pubernya diikut
sertakan kemudian diberikan do’a-do’a yang biasanya dibawa oleh orang tua adat.
Orang
yang diperbolehkan membawa mayat ke kuburan hanya empat orang tidak boleh lebih
dan tidak boleh kurang. Pemakaman mayat dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu
sebagai berikut:
1.
Bagi wanita yang meniggal dalam keadaan datang bulan, maka mayatnya
di kubur di dalam tanah
2.
Bagi wanita yang meninggal dalam keadaan suci dari haid, atau semua
mayat yang berjenis kelamin laki-laki, diletakan di atas para-para berukuran
2x2m dan tinggi 2m yang di beri pagar sekelilignya.
Pemakaman orang
– orang biasa dengankepala-kepala soam itu dipisahkan.
4. Adat dan Etika
Suku Naulu
Saku naulu adalah suku yang sangat
menghormati tamu-tamunya. Jika ada tamu yang berkunjung ke rumahnya, mereka
langsung mengucapkan tabea (menghormat dan mempersilahkan). Di dalam
rumah masyarat Suku Naulua selalu tersedia daun sirih, buah pinang, kapur dan
lain-lain sebagai persediaan pertama untuk menghormati tamunya.
Mereka sangat senang sekali jika
tamunya dapat memakan sirih atau pinang yang telah disediakan. Prinship mereka
dalam menjamu tamu adalah, jika tamu datang dengan senang riang gembira, maka pulangnya
pun harus seperti itu.
b.
Bertemu
Jika bertemu dengan temannya di
dalam hutan da kebetulan ia sedang memegang daging, kemudian temannya menyapa
kemana atau dari mana, maka yang bertanya dianggap membutuhkan daging tersebut,
tanpa diminta daging itu sksn diberikan paa orang yang bertanya tersebut. Jika
daging rusa yang di bawanya, maka setelah sampai rumah harus di jualnya
sedikit, jika daging babi yang di bawa maka semua tetanggaya akan kebagian.
Suku Naulu senang makan bersama
keluarga, jika merema mau memulai makan, maka diharuskan memakai baju terlebih
dahulu. Makanan dihidangkan di atas tikar yang digelar diatas tanah. Ketika
semua keluarga telah berkumpul dan menghadap makanan, masing-masing dari mereka
membaca “eh Upu Tabea” (penhormatan kepada Uou Kuanahatana).
Jika seseorang terluka, atau kena
penyakit sakit kepala, sakit perut, dan lain-lain. Mereka berkeyakinan bahwa
penyakit-penyakit itu dapat disembuhkan dengan ludah orang-orang tua adat.
Dengan mengharapkan bantuan dari Upu Kuanahatana, melalui ludah yang dioleskan
pada penderita sakit tersebut. Khusus bagi pengantin baru, ludah pertamanya di
simpan di tempat khusus hingga mereka mempunyai anak kelak.
Kain berang merupakan pertanda
kedewasaannya seseorang , karena seseorang dapat memakai kain merah atau kain
berang ini setelah ia melalui upacara masa puber, bukan hanya itu, denda atas
suatu pelanggaran di tebus dengan kain berang dan juga kain berang ini
merupakan penghormatan pada seorang ibu yang baru saja melahirkan. Ketika
seorang ibu melahirkan otomatis dia menumpahkan darah yang banyak. Dan kain
yang berwarna putih bagian dari sidako yang dipakai ketika upacara masa puber,
sebagai lambing bahwa ayah yang telah memberikan energy kepada ibu yang
menyebabkan adanya manusia[10].
Baeleu merupakan bangunan besar dalam kehidupan masayarakat Naulu. Baeleu
dapat berfungsi sebagai: pertama, baeleu sebagai rumah adat, tempat untuk
membicarakan masalah-masalah adat istiadat atau acara-acara lain. Segala
persoalan-persoalan adat dibicarakan dan diputuskan di Baeleu. Dan bangunan ini
pun dipercaya tempat berkumpul kebaikan. Semua upacara pesta adat dilaksanakan
di baeleu, seperti:
a.
Titalano (upacara masuk
baeleu)
b.
Cikalele (upacara
tarian setelah masuk baeuleu)
Kedua, baeuleu sebagai musieum, semua barang-barang yang berharga yakni warisan-warisan
dari nenek moyang, demikian juga dengan barang-barang antic seperti piring tua,
dan kain berang.
Suku naulu
dan suku huaulu sebenarnya masih berada dalam satu nenek moyang. Konon, pada
jaman dahulu mereka berasal dari satu ayah ayah dengan ibuyang berbeda. Karena
permasalahan adat, maka keduanya dipisahkan dengan tujuab satu ke utara dan
satunya keselatan. Sejak itu, kedua suku ini berkembang pesat menjadi naulu dan
huaulu. Kekerabatan mereka tidak hanya ada di cerita, namun juga Nampak dari
beberapa tradisi mereka yang memiliki kesamaan, termasuk kain merah yang
disebut kain berang yang wajib dipakai oleh setiap laki-laki dewasa dalam suku.
Salah satu yang paling menonjol diantara kedua suku ini adalah suku naulu. Suku
yang hidup di pulai selatan pulai seram, tepatnya di dua negri atau dusun Sep
dan Luanea. Dusun Sepa memiliki lokasi yang lebih dekat dengan kehidupan
modern, sehingga suku Naulu yang hidup di dusun ini cenderung lebih modern dan
lebih maju dalam pembangunan dusunnya. Untuk diketahui, dusun Sepa memiliki
lima pemukiman yaitu, Bonara, Naulu lama, Hauwalan, yalahatan, dan rouha. [12]
DAFTAR PUSTAKA
Badan
penelitian dan perkembangan agama departemen agama RI 1999 tradisi
kepercayaan LOkal pada beberapa suku di Indonesia, (badan litbang agama
departemen agama.)
http://www.indonesia-kaya.com/kanal/detail/tradisi-suku-naulu-dan
-modernisasi-masa-kini
Badan
penelitian dan perkembangan agama departemen agama RI 1999 tradisi
kepercayaan LOkal pada beberapa suku di Indonesia, (badan litbang agama
departemen agama.)
https://www.google.com/search?q=rumah+adat+suku+naulu&client=firefox-beta&rls=org.mozilla.
[1] Badan penelitian dan
perkembangan agama departemen agama RI 1999 tradisi kepercayaan LOkal pada
beberapa suku di Indonesia, (badan litbang agama departemen agama.) hal:103
[2] Badan penelitian dan
perkembangan agama departemen agama RI 1999 tradisi kepercayaan LOkal pada
beberapa suku di Indonesia, (badan litbang agama departemen agama.) hal:103-104
[3] Badan
penelitian dan perkembangan agama departemen agama RI 1999 tradisi
kepercayaan LOkal pada beberapa suku di Indonesia, (badan litbang agama
departemen agama.) hal:104
[4] Badan
penelitian dan perkembangan agama departemen agama RI 1999 tradisi
kepercayaan LOkal pada beberapa suku di Indonesia, (badan litbang agama
departemen agama.) hal:105
[5] Badan penelitian dan
perkembangan agama departemen agama RI 1999 tradisi kepercayaan LOkal pada
beberapa suku di Indonesia, (badan litbang agama departemen agama.) hal: 107-108.
[6] Badan penelitian dan
perkembangan agama departemen agama RI 1999 tradisi kepercayaan LOkal pada
beberapa suku di Indonesia, (badan litbang agama departemen agama.) hal: 109.
[7] Badan
penelitian dan perkembangan agama departemen agama RI 1999 tradisi kepercayaan
LOkal pada beberapa suku di Indonesia, (badan litbang agama departemen
agama.) hal: 110..
[8] Badan
penelitian dan perkembangan agama departemen agama RI 1999 tradisi
kepercayaan LOkal pada beberapa suku di Indonesia, (badan litbang agama departemen
agama.) hal: 110-111.
[9] Badan
penelitian dan perkembangan agama departemen agama RI 1999 tradisi
kepercayaan LOkal pada beberapa suku di Indonesia, (badan litbang agama
departemen agama.) hal: 111.
[10] Badan
penelitian dan perkembangan agama departemen agama RI 1999 tradisi
kepercayaan LOkal pada beberapa suku di Indonesia, (badan litbang agama
departemen agama.) hal: 112
[12]
http://www.indonesia-kaya.com/kanal/detail/tradisi-suku-naulu-dan
-modernisasi-masa-kini. Diakses pada tgl 17 maret 2016. Jam: 16:30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar