SUKU BANJAR
Oleh:
Qonita
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA
2016
Asal Usul Suku Banjar
Suku Bangsa Banjar adalah suku
bangsa yang menempati sebagian besar wilayah Provinsi Kalimantan Selatan,
sebagian Kalimantan Timur dan sebagian Kalimantan Tengah terutama kawasan
dataran dan bagian hilir dari Daerah Aliran Sungai (DAS) di wilayah tersebut.
Suku bangsa Banjar berasal dari daerah Banjaryaitu wilayah inti dari Kesultanan
Banjar meliputi DAS Barito bagian hilir, DAS Bahan (Negara), DAS Martapura dan
DAS Tabanio. Kesultanan Banjar sebelumnya meliputi wilayah provinsi Kalimantan
Selatan dan Kalimantan Tengah, kemudian terpecah disebelah barat menjadi
kerajaan Kotawaringin yang dipimpin Pangeran Dipati Anta Kasuma dan di sebelah
timur menjadi kerajaan Tanah Bumbu yang dipimpin Pangeran Dipati Tuha yang berkembang
menjadi beberapa daerah: Sabamban, Pegatan, Koensan, Poelau Laoet, Batoe
Litjin, Cangtoeng, Bangkalaan, Sampanahan, Manoenggoel, dan Tjingal. Wilayah
Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur merupakan tanah rantau primer, selanjutnya
dengan budaya madam, orang Banjar merantau hingga ke luar pulau. Menurut Alfani Daud (1997), suku bangsa Banjar adalah suku asli
sebagian besar wilayah Provinsi Kalimantan Selatan, kecuali di Kabupaten Kota
Baru.[1]
Suku Banjar merupakan salah satu suku yang mendiami
tanah Kalimantan terutama di daerah Kalimantan Selatan. Masyarakat dari suku
Banjar ini lebih dikenal dengan istilah Urang Banjar. Ideham (2003:72)
mengemukakan bahwa Urang Banjar pada awalnya merupakan suku yang
mendiami pesisir pantai di Kalimantan Selatan, Timur, dan Tengah. Pada masa
penjajahan Belanda, masyarakat setempat dikelompokkan menjadi dua kelompok
besar yakni yang Islam dan non Islam. Kelompok Islam diidentikkan sebagai suku
Melayu dan yang non islam adalah kelompok suku Dayak. Karena suku Banjar
merupakan salah satu suku dari rumpun Melayu, mereka dimasukkan dalam kelompok
Islam. Urang Banjar merupakan salah satu rumpun dari suku Melayu
memiliki kebudayaan tradisional yang terintegrasi dengan agama Islam.
Pelaksanaan ritual keagamaan dan tradisi dalam masyarakat dilakukan juga
sebagai upaya untuk menanamkan nilai keagamaan sejak dini kepada
generasi-generasi penerus dalam suku Banjar.[2]
Suku Banjar ialah penduduk
asli yang mendiami sebahagian besar wilayah Kalimantan Selatan. Mereka memiliki
kesamaan dengan penduduk Pulau Sumatera dan daerah sekitarnya. Mereka berpindah
ke kawasan ini lebih dari seribu tahun yang lalu. Setelah berlalu masa yang
lama, dan setelah bercampur dengan penduduk asal setempat yang biasanya
dinamakan secara umum sebagai suku Dayak, dan dengan imigran-imigran yang
datang kemudian, terbentuklah setidak-tidaknya tiga subsuku, iaitu Banjar
Pahuluan, Banjar Batang Banyu dan Banjar Kuala. Orang Pahuluan pada dasarnya
ialah penduduk yang mendiami lembah sungai yang berhulu di Pergunungan Meratus;
orang Batang Banyu mendiami lembah sungai Negara; sedangkan orang Banjar Kuala
mendiami daerah sekitar Banjarmasin dan Martapura.
Menurut Hikayat Banjar, dahulu kala
penduduk pribumi Kalimantan Selatan belum terikat dengan satu kekuatan politik
dan masing-masing puak masih menyebut dirinya berdasarkan asal Daerah Aliran
Sungai misalnya orang batang Alai, orang batang Amandit, orang batang Tabalong,
orang batang Balangan, orang batang Labuan Amas, dan sebagainya. Sebuah entitas
politik yang bernama Negara Dipa terbentuk yang mempersatukan puak-puak yang
mendiami semua daerah aliran sungai tersebut. Negara Dipa kemudian digantikan
oleh Negara Daha. Semua penduduk Kalsel saat itu merupakan warga Kerajaan
Negara Daha, sampai ketika seorang Pangeran dari Negara Daha mendirikan sebuah
kerajaan di muara Sungai Barito yaitu Kesultanan Banjar. Dari sanalah nama
Banjar berasal, yaitu dari nama Kampung Banjar yang terletak di muara Sungai
Kuin, di tepi kanan sungai Barito.
Mitologi suku Dayak Meratus (Suku
Bukit) menyatakan bahwa Suku Banjar (terutama Banjar Pahuluan) dan Suku Bukit
merupakan keturunan dari dua kakak beradik yaitu Si Ayuh/Datung
Ayuh/Dayuhan/Sandayuhan yang menurunkan suku Bukit dan Bambang Siwara/Bambang Basiwara
yang menurunkan suku Banjar.
Sesuai
dengan statusnya sebagai nenek-moyang atau cikal-bakal orang Dayak Maratus,
maka nama Sandayuhan sangat populer di kalangan orang Dayak Meratus. Banyak
sekali tempat-tempat di seantero pegunungan Meratus yang sejarah keberadaannya
diceritakan berasal-usul dari aksi heroik Sandayuhan. Salah satu di antaranya
adalah tebing batu berkepala tujuh, yang konon adalah penjelmaan dari
Samali’ing, setan berkepala tujuh yang berhasil dikalahkannya dalam suatu
kontak fisik yang sangat menentukan.
Suku bangsa
Banjar terbentuk dari suku-suku Bukit, Maanyan, Lawangan dan Ngaju yang
dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu yang berkembang sejak zaman Sriwijaya dan
kebudayaan Jawa pada zaman Majapahit, dipersatukan oleh kerajaan yang beragama
Buddha, Hindu dan terakhir Islam, dari kerajaan Banjar, sehingga menumbuhkan
suku bangsa Banjar yang berbahasa Banjar. Suku bangsa Banjar terbagi menjadi
tiga subsuku, yaitu :
1. (Banjar)
Pahuluan
Banjar Pahuluan pada asasnya adalah penduduk daerah lembah-lembah sungai
(cabang sungai Negara) yang berhulu ke pegunungan Meratus.
Sangat mungkin sekali pemeluk Islam sudah ada sebelumnya di sekitar keraton
yang dibangun di Banjarmasin, tetapi pengislaman secara massal diduga terjadi
setelah raja Pangeran Samudera yang kemudian dilantik menjadi Sultan
Suriansyah, memeluk Islam diikuti warga kerabatnya, yaitu bubuhan raja-raja.
Perilaku raja ini diikuti elit ibukota, masing-masing tentu menjumpai penduduk
pedalaman, yaitu Orang Bukit, yang dahulu diperkirakan mendiami lembah-lembah
sungai yang sama.
Untuk kepentingan keamanan, atau karena memang ada ikatan kekerabatan,
cikal bakal suku Banjar membentuk komplek pemukiman tersendiri. Komplek
pemukiman cikal bakal suku Banjar (Pahuluan) yang pertama ini merupakan komplek
pemukimanbubuhan, yang pada mulanya terdiri dari seorang tokoh yang berwibawa
sebagai kepalanya, dan warga kerabatnya, dan mungkin ditambah dengan
keluarga-keluarga lain yang bergabung dengannya. Model yang sama atau hampir
sama juga terdapat pada masyarakat balai di kalangan masyarakat orang Bukit,
yang pada asasnya masih berlaku sampai sekarang. Daerah lembah sungai-sungai
yang berhulu di Pegunungan Meratus ini nampaknya wilayah pemukiman pertama
masyarakat Banjar, dan di daerah inilah konsentrasi penduduk yang banyak sejak
zaman kuno, dan daerah inilah yang dinamakan Pahuluan. Apa yang dikemukakan di
atas menggambarkan terbentuknya masyarakat (Banjar) Pahuluan, yang tentu saja
dengan kemungkinan adanya unsur orang Bukit ikut membentuknya.
2.
(Banjar) Batang Banyu
Banjar Batang Banyu mendiami lembah sungai Negara. Masyarakat (Banjar)
Batang Banyu terbentuk diduga erat sekali berkaitan dengan terbentuknya pusat
kekuasaan yang meliputi seluruh wilayah Banjar, yang barangkali terbentuk mula
pertama di hulu sungai Negara atau cabangnya yaitu sungai Tabalong. Sebagai
warga yang berdiam di ibukota tentu merupakan kebanggaan tersendiri, sehingga
menjadi kelompok penduduk yang terpisah. Daerah tepi sungai Tabalong adalah
merupakan tempat tinggal tradisional dari Orang Maanyan (dan Orang Lawangan),
sehingga diduga banyak yang ikut serta membentuk subsuku Banjar Batang Banyu,
di samping tentu saja orang-orang asalPahuluan yang pindah ke sana dan para
pendatang yang datang dari luar. Bila di Pahuluan umumnya orang hidup dari
bertani (subsistens), maka banyak di antara penduduk Batang Banyu yang bermata
pencarian sebagai pedagang dan pengrajin.
3.
Banjar (Kuala)
Sedangkan
orang Banjar Kuala mendiami sekitar Banjarmasin dan Martapura.
Bahasa yang
mereka kembangkan dinamakan bahasa Banjar, yang terbagi ke dalam dua dialek
besar yaitu Banjar Hulu dan Banjar Kuala. Nama Banjar diperoleh karena mereka
dahulu (sebelum kesultanan Banjar dihapuskan pada tahun 1860) adalah warga
Kesultanan Banjarmasin atau disingkat Banjar, sesuai dengan nama ibukotanya
pada mula berdirinya. Ketika ibukota dipindahkan ke arah pedalaman (terakhir di
Martapura), nama tersebut nampaknya sudah baku atau tidak berubah lagi.
Ketika pusat kerajaan dipindahkan ke
Banjarmasin (terbentuknya Kesultanan Banjarmasin), sebagian warga Batang Banyu
(dibawa) pindah ke pusat kekuasaan yang baru ini dan bersama-sama dengan
penduduk sekitar keraton yang sudah ada sebelumnya, membentuk subsuku Banjar.
Di kawasan ini mereka berjumpa dengan orang Ngaju, yang seperti halnya dengan
masyarakat Bukit dan masyarakat Maanyan serta Lawangan, banyak di antara mereka
yang akhirnya melebur ke dalam masyarakat Banjar, setelah mereka memeluk agama
Islam. Mereka yang bertempat tinggal di sekitar ibukota kesultanan inilah
sebenarnya yang dinamakan atau menamakan dirinya orang Banjar, sedangkan
masyarakat Pahuluan dan masyarakat Batang Banyu biasa menyebut dirinya sebagai
orang (asal dari) kota-kota kuno yang terkemuka dahulu. Tetapi bila berada di
luar Tanah Banjar, mereka itu tanpa kecuali mengaku sebagai orang Banjar.
Bahasa yang mereka kembangkan
dinamakan bahasa Banjar yang pada asasnya ialah bahasa Melayu. Nama Banjar diperoleh
kerana mereka sebelum dijajah pada tahun 1860 adalah warga Kesultanan
Banjarmasin atau singkatnya Banjar, sesuai dengan nama ibu kotanya. Ketika ibu
kota dipindahkan arah ke pedalaman, terakhirnya di Martapura, nama tersebut
nampaknya sudah baku dan tidak berubah lagi. Ketika pusat kerajaan dipindahkan
ke Banjarmasin dan terbentuknya Kesultanan Banjar, sebahagian warga Batang
Banyu dipindahkan ke pusat kekuasaan yang baru ini, dan dengan demikian terbentuklah
subsuku Banjar. Di kawasan ini mereka berjumpa dengan suku Dayak Ngaju, dan
seperti masyarakat Dayak Bukit dan masyarakat Dayak Manyan atau Lawangan,
banyak di antara mereka yang akhirnya melebur ke dalam masyarakat Banjar
setelah mereka memeluk agama Islam, atau berimigrasi ke tempat-tempat lain,
khususnya ke sebelah barat sungai Barito. Mereka yang bertempat tinggal di
sekitar ibu kota kesultanan inilah sebenarnya yang dinamakan atau menamakan
dirinya orang Banjar, sedangkan masyarakat Pahuluan dan masyarakat Batang Banyu
biasa menyebut diri mereka sebagai orang asal kota-kota kuno yang terkemuka
dahulu. Tetapi bila berada di luar tanah Banjar, mereka itu tanpa kecuali
mengaku sebagai orang Banjar. Setelah kesultanan Banjar dibubarkan oleh
penjajah Belanda, ramai orang Banjar yang bermigrasi ke luar daerah. Salah
satunya adalah ke Sapat yang diperintah oleh Kerajaan Indragiri yang sekarang
ini dinamakan Kabupaten Indragiri Hilir. Sebahagian daripada mereka ada pula
yang berpindah ke Malaysia seperti ke negeri Selangor, Kedah, Perak dan
lain-lain.[3]
Budaya
Jujuran Dalam Perkawinan Adat Banjar
Persepsi pria suku Banjar terhadap
budaya jujuran dalam perkawinan adat adalah merupakan kewajiban pria suku
Banjar yang harus dijalankan dalam perkawinan, merupakan budaya yang sudah
turun temurun yang dijalankan oleh masyarakat suku Banjar dan merupakan
kebanggaan apabila dijalankan dalam perkawinannya, sebagai bentuk penghargaan
terhadap wanita yang akan dikawini, merupakan budaya yang sangat memberatkan serta
menyulitkan pria suku Banjar dalam melaksanakan perkawinan. Kedudukan pria suku
Banjar dalam budaya jujuran adalah pria memiliki kedudukan yang tinggi karena
pria yang memberikan jujuran kepada wanita, selain itu adanya pandangan bahwa
kedudukan pria dalam budaya jujuran merupakan pihak yang ditekan oleh pihak
wanita karena yang menentukan besarnya jumlah jujuran yang diminta.[4]
Idwar Saleh (1991:92) mengemukakan bahwa masyarakat
Banjar, sesuai dengan ajaran agama Islam diijinkan untuk menikah hingga empat
kali tetapi pelaku poligami ini haruslah bisa bersikap adil antara istri yang
satu dengan istri berikutnya. Salah satu bentuk ‘adil’ menurut adat istiadat
Banjar adalah bahwa seorang laki-laki baru layak menikah lagi setelah ia mampu
memberikan harta 56 kekayaan kepada istri
terdahulunya. Oleh sebab itulah laki-laki yang berani melakukan poligami
biasanya adalah mereka yang memiliki kemampuan ekonomi yang cukup, tetapi tidak
menutup kemungkinan juga bahwa dalam tindakan poligami ini dilakukan oleh
mereka yang tidak mapan secara ekonomi dan pada umumnya tidak meminta ijin dari
istrinya yang pertama.
Sistem Kekerabatan
Seperti sistem kekerabatan umumnya,
masyarakat Banjar mengenal istilah-istilah tertentu sebagai panggilan dalam keluarga
yang berpusat dari ulun sebagai
penyebutnya. Bagi ulun juga terdapat
panggilan untuk saudara dari ayah atau ibu, saudara tertua disebut Julak,
saudara kedua disebut Gulu, saudara berikutnya disebut Tuha, saudara tengah
dari ayah dan ibu disebut Angah, dan yang lainnya biasa disebut Pakacil (paman
muda/kecil) dan Makacil (bibi muda/kecil), sedangkan termuda disebut Busu.
Untuk memanggil saudara dari kai dan nini sama saja, begitu pula untuk saudara
datu.
Untuk memanggil orang yang seumur
boleh dipanggil ikam, boleh juga menggunakan kata aku untuk menunjuk diri
sendiri. Sedangkan untuk menghormati atau memanggil yang lebih tua digunakan
kata pian, dan kata ulun untuk menunjuk diri sendiri.
Kebudayaan
Kehidupan orang Banjar terutama
kelompok Banjar Kuala dan Batang Banyu lekat dengan budaya sungai. Sebagai sarana
transportasi, orang Banjar mengembangkan beragam jukung (perahu) sesuai dengan
fungsinya yakni Jukung Pahumaan, Jukung Paiwakan, Jukung Paramuan, Jukung
Palambakan, Jukung Pambarasan, Jukung Gumbili, Jukung Pamasiran, Jukung Beca
Banyu, Jukung Getek, Jukung Palanjaan, Jukung Rombong, Jukung/Perahu Tambangan,
Jukung Undaan, Jukung Tiung dan lain-lain. Kondisi geografis Kalimantan Selatan
yang banyak memiliki sungai dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh orang
Banjar, sehingga salah satu keahlian orang Banjar adalah mengolah lahan pasang
surut menjadi kawasan budi daya pertanian dan permukiman. Sistem irigasi khas
orang Banjar yang dikembangkan masyarakat Banjar mengenal tiga macam kanal.
Pertama, Anjir (ada juga yang menyebutnya Antasan) yakni semacam saluran primer
yang menghubungkan antara dua sungai. Anjir berfungsi untuk kepentingan umum
dengan titik berat sebagai sistem irigasi pertanian dan sarana transportasi.
Kedua, Handil (ada juga yang menyebut Tatah) yakni semacam saluran yang
muaranya di sungai atau di Anjir. Handil dibuat untuk menyalurkan air ke lahan
pertanian daerah daratan. Handil ukurannya lebih kecil dari Anjir dan merupakan
milik kelompok atau bubuhan tertentu. Ketiga, Saka merupakan saluran tersier
untuk menyalurkan air yang biasanya diambil dari Handil. Saluran ini berukuran
lebih kecil dari Handil dan merupakan milik keluarga atau pribadi.
Rumah Banjar
Rumah Banjar adalah rumah
tradisional suku Banjar. Arsitektur tradisional ciri-cirinya antara lain
mempunyai perlambang, mempunyai penekanan pada atap, ornamental, dekoratif dan
simetris. Rumah tradisonal Banjar adalah tipe-tipe rumah khas Banjar dengan
gaya dan ukirannya sendiri mulai berkembang sebelum tahun 1871 sampai tahun
1935. Dari sekian banyak jenis-jenis rumah Banjar, tipe Bubungan Tinggi
merupakan jenis rumah Banjar yang paling dikenal dan menjadi identitas rumah
adat suku Banjar.
Tradisi lisan
Tradisi lisan oleh Suku Banjar
sangat dipengaruhi oleh budaya Melayu, Arab, dan Cina. Tradisi lisan Banjar
(yang kemudian hari menjadi sebuah kesenian) berkembang sekitar abad ke-18 yang
di antaranya adalah Madihin dan Lamut. Madihin berasal dari bahasa Arab, yakni
madah (ﻤﺪﺡ) yang artinya pujian. Madihin merupakan puisi rakyat anonim bertipe
hiburan yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar dengan bentuk fisik
dan bentuk mental tertentu sesuai dengan konvensi yang berlaku secara khusus
dalam khasanah folklor Banjar di Kalsel. Sedangkan Lamut adalah sebuah tradisi
berkisah yang berisi cerita tentang pesan dan nilai-nilai keagamaan, sosial dan
budaya Banjar. Lamut berasal dari negeri Cina dan mulanya menggunakan bahasa
Tionghoa. Namun, setelah dibawa ke Tanah Banjar oleh pedagang-pedagang Cina,
maka bahasanya disesuaikan menjadi bahasa Banjar.
Tarian
Seni Tari Banjar terbagi menjadi
dua, yaitu seni tari yang dikembangkan di lingkungan istana (kraton), dan seni
tari yang dikembangkan oleh rakyat. Seni tari kraton ditandai dengan nama
"Baksa" yang berasal dari bahasa Jawa (beksan) yang menandakan
kehalusan gerak dalam tata tarinya. Tari-tari ini telah ada dari ratusan tahun
yang lalu, semenjak zaman hindu, namun gerakan dan busananya telah disesuaikan
dengan situasi dan kondisi dewasa ini. Contohnya, gerakan-gerakan tertentu yang
dianggap tidak sesuai dengan adab islam mengalami sedikit perubahan.[5]
[1] Suku Banjar,
diakses dari https://www.scribd.com/doc/31527356/SUKU-BANJAR pada tanggal
09 Juni 2016 pukul 20.24 WIB.
[2] BAB II
Deskripsi Objek Penelitian, diakses dari
http://e-journal.uajy.ac.id/3209/3/2KOM03477.pdf pada tanggal
09 Juni 2016 pukul 20.37 WIB.
[3]
Rahim Aman, Zulkifley Hamid, Shahidi Abd, Profil pemikiran Banjar: Satu
kajian perbandingan antara suku
Banjar di Malaysia dan di Indonesia, diakses dari http://www.ukm.my/ geografia/images/upload/2c.
geografia-nov%202012-si-rahim%20aman-edkat2.pdf pada tanggal 08 Juni 2016 jam 20.23 WIB.
[4] Dina Aprilia, Budaya Jujuran
dalam Masyarakat Banjar http://eprints.umm.ac.id/6451/1/BUDAYA_JUJURAN_DALAM_PERKAWINANADAT_BANJAR.pdf
pada tanggal 09 Juni 2016 pukul 20.40 WIB.
[5] Kearifan Lokal Masyarakat Banjar
http://eprints.unlam.ac.id/224/1/11%20Kearifan%20Religi%20Masy%20Banjar%20Pahuluan-Publika.pdf
pada tanggal 09 Juni 2016 pukul 20.40 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar